Nasib ”Reality Show”
Oleh UKON AHMAD FURQON
http://pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/09/09.htm
Sisihkan senyum, sisihkan tawa
Ketika tangis terdengar, cakar telinga kita...
Satukan kata dan rasa, bersama singkirkan derita
("Katakan Kita Rasakan", Iwan Fals)
PENGHUJUNG 2004 menjadi catatan kelam bagi Indonesia. Belum juga reda rasa duka kehilangan sanak saudara akibat beragam kecelakaan seperti jatuhnya pesawat, belum juga usai kepedihan akibat bencana seperti yang terjadi di Nabire dan Alor, Indonesia kembali dilanda musibah, dan kini jauh lebih dahsyat. Gempa dan gelombang tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara. Tak terkira harta benda hancur dihantam bah. Puluhan ribu jiwa pun, bahkan lebih, dipanggil Sang Pencipta.
Namun, orang bijak bilang, dalam setiap kisah kehidupan, seberapa pun pahitnya, senantiasa ada hikmah yang bisa dipetik.
Bencana tsunami juga telah menggalang solidaritas kemanusiaan yang luar biasa. Solidaritas itu datang dari beragam kalangan, termasuk dari kalangan musik. Tak hanya ungkapan duka cita, musisi kita juga melakukan berbagai upaya, khususnya penggalangan dana melalui konser, baik yang diinisiasi stasiun televisi maupun bukan. Dua di antara sederet konser amal peduli Aceh dan Sumatra Utara yang cukup besar adalah konser "9 Skala Richter" yang digelar di Score Citos, Jakarta (7/1) dan "Konser Kemanusiaan Peduli Aceh-Sumut" di Taman Impian Jaya Ancol Jakarta (9/1). Konser di Ancol digelar oleh Masyarakat Peduli Indonesia dan menghadirkan tak kurang dari 100 nama musisi papan atas, dari mulai Padi, Iwan Fals, Dewa, hingga bintang-bintang AFI, dan Indonesian Idol. Di Bandung, Sabtu tadi malam, artis-artis asal Bandung juga menggelar acara "Peduli Aceh".
Kepedulian para musisi menjadi kado manis di awal tahun. Kepedulian ini juga seakan menjawab harapan agar di tahun yang baru ini musik kita mampu membuat gebrakan, ke luar dari rutinitas, serta dapat hadir lebih bermakna di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana ditulis dalam laporan akhir tahun Pikiran Rakyat, "Musik, Masih Sebatas Tangis dan Tawa" (PR, 26/12/2004).
Hanya saja, pertanyaan yang layak direnungkan, apakah kepedulian yang mengharukan dan massif itu hanya akan muncul jika ada korban puluhan ribu nyawa? Padahal di hari-hari biasa, di saat kita merasa tidak terjadi apa-apa, sesungguhnya begitu banyak kisah-kisah kehidupan, begitu banyak penderitaan yang juga memerlukan perhatian dan uluran tangan.
Beragam perkembangan
Diawali dengan kisah kebersamaan dan kepedulian yang diharapkan tidak insidental, dunia musik sendiri menyimpan beragam kemungkinan perkembangan yang sangat menarik untuk diikuti sepanjang tahun 2005 ini. Salah satu di antaranya adalah soal nasib berbagai ajang kontes menyanyi yang dikemas dalam format reality show televisi seperti Indonesian Idol, KDI, dan Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Setelah mencapai masa keemasannya tahun 2004, apakah reality show kembali berjaya di tahun 2005?
Masing-masing acara kontes menyanyi, kini tengah ancang-ancang untuk meluncur pada musim berikutnya. KDI 2 sedang melakukan audisi. Disusul kemudian dengan Indonesian Idol 2 pada Februari mendatang, dan juga AFI. Dengan demikian, reality show masih akan tetap ada.
Namun, setelah tahun lalu publik musik (baca: pemirsa televisi) dijejali kontes menyanyi dengan cukup padat, para pengelola acara tersebut benar-benar dituntut inovasinya jika ingin tetap eksis. Tanpa inovasi, baik dari segi kemasan acara maupun proses seleksi yang dapat lebih menjamin kualitas peserta, sangat boleh jadi ajang kontes menyanyi akan mulai memudar popularitasnya. Apalagi jika pemirsa telah merasakan titik jenuh. Sangat boleh jadi akan muncul tren baru yang mampu mengharu biru.
Hal lain yang juga layak ditunggu adalah kiprah solo dari para mantan peserta kontes. Setelah tahun lalu banyak nama baru yang dengan cepat mencuat berkat keikutsertaan dalam kontes menyanyi, tahun ini merupakan waktu pembuktian apakah mereka mampu eksis di belantika musik Indonesia, lepas dari bayang-bayang AFI, Indonesian Idol, maupun KDI. Mereka harus berjuang merebut hati publik musik bersama penyanyi-penyanyi yang telah lebih mapan, penyanyi baru yang muncul secara independen, serta grup-grup yang juga dilahirkan dari ajang sejenis kontes seperti Dreamband yang digelar TV7.
Tahun 2005, sesungguhnya memang merupakan kesempatan emas bagi penyanyi-penyanyi muda untuk menanjak. Setelah sukses nangkring pada beberapa kategori "Anugerah Musik Indonesia (AMI) Samsung Awards" ke-8 tahun lalu, para penyanyi muda dapat makin menunjukkan eksistensinya. Hal ini juga seiring dengan pergeseran tren musik mindstream dari musik alternatif atau bergaya cadas seperti hip metal, ke warna yang lebih soft atau pop.
Perkembangan lain yang menarik untuk diikuti, adalah nasib dari album musisi-musisi beken yang dirilis menjelang akhir tahun 2004, seperti album "BO 18+" milik Jamrud, "Senyawa" (Chrisye), dan "Laskar Cinta" (Dewa). Setelah tahun lalu hanya "Bintang di Surga" (Peterpan) yang sukses besar dari sisi penjualan, kini dengan kehadiran album dari nama-nama terkenal, mungkin akan lebih banyak album yang mampu me-raup banyak atensi.
Nasib dari album-album tersebut akan dipengaruhi pula oleh sukses tidaknya pembajakan direduksi. Terkait pembajakan yang masih kronis, jika tahun lalu mungkin masih bisa ditoleransi terkait dengan umur pemerintahan baru yang masih baru, tahun ini pemerintah tak lagi bisa menggunakan alibi itu.
Seiring dengan industri film dalam negeri yang mulai menggeliat kembali, tahun 2005 tampaknya akan dihiasai pula oleh beragam album soundtrack. Tahun lalu, album soundtrack dari film seperti "30 Hari Mencari Cinta" yang digarap Sheila on 7, "Eiffel... Im in Love!" (Melly Goeslow dan Anto Hoed), serta "Brownies" (Gigi), sukses di pasaran. Berbekal nama-nama beken dan meningkatnya gairah untuk menonton film nasional, khususnya dari kalangan remaja, album soundtrack yang dirilis tahun ini punya peluang besar untuk kembali menggebrak pasar.
Lantas, di tengah berbagai perkembangan musik nasional, di manakah posisi Bandung? Bukan rahasia lagi, Bandung merupakan salah satu kota pemasok musisi terbesar di tanah air. Di samping nama-nama yang telah mencuat, Bandung masih punya segudang talenta, termasuk yang kini masih bergerak di jalur indie. Apakah mereka akan makin dikenal di tahun 2005?
Di samping soal inovasi dan kemampuan musikalitas, para talenta baru di jalur indie dituntut dapat membuka ruang yang lebih lebar untuk "berkomunikasi" dengan pasar. Komunikasi dalam konteks ini adalah kemampuan membaca keinginan pasar yang kemudian dianalisis dan dijadikan salah satu pertimbangan dalam berekspresi, tentu tanpa mengorbankan idealisme atau menjadi "korban mode".***
Penulis adalah pemerhati musik
http://pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/09/09.htm
Sisihkan senyum, sisihkan tawa
Ketika tangis terdengar, cakar telinga kita...
Satukan kata dan rasa, bersama singkirkan derita
("Katakan Kita Rasakan", Iwan Fals)
PENGHUJUNG 2004 menjadi catatan kelam bagi Indonesia. Belum juga reda rasa duka kehilangan sanak saudara akibat beragam kecelakaan seperti jatuhnya pesawat, belum juga usai kepedihan akibat bencana seperti yang terjadi di Nabire dan Alor, Indonesia kembali dilanda musibah, dan kini jauh lebih dahsyat. Gempa dan gelombang tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara. Tak terkira harta benda hancur dihantam bah. Puluhan ribu jiwa pun, bahkan lebih, dipanggil Sang Pencipta.
Namun, orang bijak bilang, dalam setiap kisah kehidupan, seberapa pun pahitnya, senantiasa ada hikmah yang bisa dipetik.
Bencana tsunami juga telah menggalang solidaritas kemanusiaan yang luar biasa. Solidaritas itu datang dari beragam kalangan, termasuk dari kalangan musik. Tak hanya ungkapan duka cita, musisi kita juga melakukan berbagai upaya, khususnya penggalangan dana melalui konser, baik yang diinisiasi stasiun televisi maupun bukan. Dua di antara sederet konser amal peduli Aceh dan Sumatra Utara yang cukup besar adalah konser "9 Skala Richter" yang digelar di Score Citos, Jakarta (7/1) dan "Konser Kemanusiaan Peduli Aceh-Sumut" di Taman Impian Jaya Ancol Jakarta (9/1). Konser di Ancol digelar oleh Masyarakat Peduli Indonesia dan menghadirkan tak kurang dari 100 nama musisi papan atas, dari mulai Padi, Iwan Fals, Dewa, hingga bintang-bintang AFI, dan Indonesian Idol. Di Bandung, Sabtu tadi malam, artis-artis asal Bandung juga menggelar acara "Peduli Aceh".
Kepedulian para musisi menjadi kado manis di awal tahun. Kepedulian ini juga seakan menjawab harapan agar di tahun yang baru ini musik kita mampu membuat gebrakan, ke luar dari rutinitas, serta dapat hadir lebih bermakna di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana ditulis dalam laporan akhir tahun Pikiran Rakyat, "Musik, Masih Sebatas Tangis dan Tawa" (PR, 26/12/2004).
Hanya saja, pertanyaan yang layak direnungkan, apakah kepedulian yang mengharukan dan massif itu hanya akan muncul jika ada korban puluhan ribu nyawa? Padahal di hari-hari biasa, di saat kita merasa tidak terjadi apa-apa, sesungguhnya begitu banyak kisah-kisah kehidupan, begitu banyak penderitaan yang juga memerlukan perhatian dan uluran tangan.
Beragam perkembangan
Diawali dengan kisah kebersamaan dan kepedulian yang diharapkan tidak insidental, dunia musik sendiri menyimpan beragam kemungkinan perkembangan yang sangat menarik untuk diikuti sepanjang tahun 2005 ini. Salah satu di antaranya adalah soal nasib berbagai ajang kontes menyanyi yang dikemas dalam format reality show televisi seperti Indonesian Idol, KDI, dan Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Setelah mencapai masa keemasannya tahun 2004, apakah reality show kembali berjaya di tahun 2005?
Masing-masing acara kontes menyanyi, kini tengah ancang-ancang untuk meluncur pada musim berikutnya. KDI 2 sedang melakukan audisi. Disusul kemudian dengan Indonesian Idol 2 pada Februari mendatang, dan juga AFI. Dengan demikian, reality show masih akan tetap ada.
Namun, setelah tahun lalu publik musik (baca: pemirsa televisi) dijejali kontes menyanyi dengan cukup padat, para pengelola acara tersebut benar-benar dituntut inovasinya jika ingin tetap eksis. Tanpa inovasi, baik dari segi kemasan acara maupun proses seleksi yang dapat lebih menjamin kualitas peserta, sangat boleh jadi ajang kontes menyanyi akan mulai memudar popularitasnya. Apalagi jika pemirsa telah merasakan titik jenuh. Sangat boleh jadi akan muncul tren baru yang mampu mengharu biru.
Hal lain yang juga layak ditunggu adalah kiprah solo dari para mantan peserta kontes. Setelah tahun lalu banyak nama baru yang dengan cepat mencuat berkat keikutsertaan dalam kontes menyanyi, tahun ini merupakan waktu pembuktian apakah mereka mampu eksis di belantika musik Indonesia, lepas dari bayang-bayang AFI, Indonesian Idol, maupun KDI. Mereka harus berjuang merebut hati publik musik bersama penyanyi-penyanyi yang telah lebih mapan, penyanyi baru yang muncul secara independen, serta grup-grup yang juga dilahirkan dari ajang sejenis kontes seperti Dreamband yang digelar TV7.
Tahun 2005, sesungguhnya memang merupakan kesempatan emas bagi penyanyi-penyanyi muda untuk menanjak. Setelah sukses nangkring pada beberapa kategori "Anugerah Musik Indonesia (AMI) Samsung Awards" ke-8 tahun lalu, para penyanyi muda dapat makin menunjukkan eksistensinya. Hal ini juga seiring dengan pergeseran tren musik mindstream dari musik alternatif atau bergaya cadas seperti hip metal, ke warna yang lebih soft atau pop.
Perkembangan lain yang menarik untuk diikuti, adalah nasib dari album musisi-musisi beken yang dirilis menjelang akhir tahun 2004, seperti album "BO 18+" milik Jamrud, "Senyawa" (Chrisye), dan "Laskar Cinta" (Dewa). Setelah tahun lalu hanya "Bintang di Surga" (Peterpan) yang sukses besar dari sisi penjualan, kini dengan kehadiran album dari nama-nama terkenal, mungkin akan lebih banyak album yang mampu me-raup banyak atensi.
Nasib dari album-album tersebut akan dipengaruhi pula oleh sukses tidaknya pembajakan direduksi. Terkait pembajakan yang masih kronis, jika tahun lalu mungkin masih bisa ditoleransi terkait dengan umur pemerintahan baru yang masih baru, tahun ini pemerintah tak lagi bisa menggunakan alibi itu.
Seiring dengan industri film dalam negeri yang mulai menggeliat kembali, tahun 2005 tampaknya akan dihiasai pula oleh beragam album soundtrack. Tahun lalu, album soundtrack dari film seperti "30 Hari Mencari Cinta" yang digarap Sheila on 7, "Eiffel... Im in Love!" (Melly Goeslow dan Anto Hoed), serta "Brownies" (Gigi), sukses di pasaran. Berbekal nama-nama beken dan meningkatnya gairah untuk menonton film nasional, khususnya dari kalangan remaja, album soundtrack yang dirilis tahun ini punya peluang besar untuk kembali menggebrak pasar.
Lantas, di tengah berbagai perkembangan musik nasional, di manakah posisi Bandung? Bukan rahasia lagi, Bandung merupakan salah satu kota pemasok musisi terbesar di tanah air. Di samping nama-nama yang telah mencuat, Bandung masih punya segudang talenta, termasuk yang kini masih bergerak di jalur indie. Apakah mereka akan makin dikenal di tahun 2005?
Di samping soal inovasi dan kemampuan musikalitas, para talenta baru di jalur indie dituntut dapat membuka ruang yang lebih lebar untuk "berkomunikasi" dengan pasar. Komunikasi dalam konteks ini adalah kemampuan membaca keinginan pasar yang kemudian dianalisis dan dijadikan salah satu pertimbangan dalam berekspresi, tentu tanpa mengorbankan idealisme atau menjadi "korban mode".***
Penulis adalah pemerhati musik
Labels: Opini Musik Seni
| Baca Selengkapnya |