| Opini Musik & Seni | Opini & Resensi | Puisi | Cerpen | Refleksi |  

    | 

« Kembali ke Muka | Membaca Album Iwan Fals "50:50" » | Di Belantara Rindu » | Saat Mencari Jawaban » | Konser WS Rendra, Iwan Fals, Sawung Jabo » | Negara Siluman » | Pesan Fals » | Terkesima » | Film "Naga Bonar jadi 2", Luar Biasa! » | Ada Kolam Ikan di Jalanmu » | Berita Buruk Media Kita »

Optimisme Reggae di Zaman Susah

SELAMAT datang (kembali) musik reggae! Setelah lama hanya eksis di komunitas terbatas, musik riang asal Jamaika ini mulai unjuk gigi kembali di jalur mainstream. Iwan Fals-lah yang mencoba mengibarkannya lewat album terbaru "50:50" (baca: Fifty-Fifty) dengan single pertama "Mabuk Cinta" yang berirama reggae.

Nuansa reggae yang kental juga dapat dinikmati pada beberapa lagu di album terbaru Slank, "Slow but Sure".

Sebelum Iwan dan Slank, beberapa musisi lain telah lebih dulu mencoba mengangkat kembali pamor reggae. Sebut misalnya Pas Band yang mulai rajin mengusung jenis musik ini pada beberapa album terakhir, seperti lagu "Yob Eagger" (album "Psycho I.D.") dan "Pantai Abis" ("Ketika").

Kemudian ada Ello dengan lagu "Gadisku" (Ello-Repackage). Bahkan Dewa 19 tak ketinggalan mengusung reggae dalam lagu "Matahari Bintang Bulan" (Laskar Cinta).

Di samping mereka, mulai hadir pula grup-grup yang bermusik reggae secara total di jalur populer. Salah satunya adalah Steven & The Coconuttreez yang tahun lalu sukses mencetak tembang tenar "Welcome to My Paradise". Nama lain yang tak bisa dilepaskan dari eksistensi musik reggae Indonesia mutakhir adalah Tony Q. Rastafara. Kendati belum menelurkan lagu yang kondang secara luas, Tony bersama komunitasnya konsisten memainkan jenis musik ini sejak akhir 1980-an. Ia telah melahirkan lebih dari lima album reggae secara indie.

Optimistis

Kelahiran reggae tak lepas dari konteks sejarah dan sosiokultural negeri Jamaika sebelum merdeka dari Inggris pada 6 Agustus 1962. Impitan penjajahan memunculkan pandangan ideal tentang kondisi negara yang damai dan merdeka.

Salah satu wujudnya, masyarakat di negeri tersebut mengidolakan segala sesuatu yang berbau kultur lokal sebagai identitas kemerdekaan, termasuk di bidang musik. Lahirlah musik ska yang diramu dari rentak Afrika dan Karibia dan diwarnai rock n roll. Seperti rock n roll, ska yang bertempo cepat juga nyaman untuk berjingkrak. Pada era 1960-an, ska mengalami pelambatan tempo yang memicu lahirnya rocksteady. Bob Marley adalah salah seorang musisi yang memainkan warna musik ini.

Setelah melewati ragam metamorfosis, berikutnya lahirlah reggae. Musik ini dicirikan oleh peran drum dan bas sebagai pengatur tempo serta bunyi gitar rhythm sebagai pemberi ketukan reguler yang perkusif.

Dibandingkan dengan ska atau rocksteady, reggae memiliki tempo yang lebih lamban serta orientasi pada vokal yang lebih mengedepan. Dari Jamaika, reggae kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Musik ini membawa beberapa atribut khas seperti rambut gimbal (dreadlocks). Namun demikian, atribut tersebut sesungguhnya hanya image dan tidak menjadi sebuah kemestian.

Selain pada musiknya, ciri khas reggae justru terletak pada lirik-liriknya yang membawa semangat cinta, persaudaraan, optimisme, serta perlawanan terhadap kondisi sosial-politik yang menyimpang. Semangat itu tercermin pula dalam reggae Indonesia. Simak misalnya petikan lirik "Grup Bunglon" karya Tony Q. Rastafara yang kritis: Banyak pahlawan kesiangan mengaku ikut andil dalam perjuangan/ Banyak juga yang berganti baju, tak punya urat malu/ Merancang strategi untuk tetap korupsi, pertahankan kolusi/ Bunglon selalu berubah warna.

Simak pula lirik riang pada "Mabuk Cinta" karya Bongky BIP dan Iwan Fals: Wangi bunga, hangat mentari/ Semua jelas kurasakan asik sekali/ Rasa benci, sakit hati/ Terbang menghilang jauh pergi.Dalam ranah musik populer Indonesia, reggae sempat mencuat di awal era 1990-an. Saat itu, Imanez sukses dengan "Anak Pantai", sebuah lagu manis yang mengampanyekan pesan damai. Kiprah Imanez kemudian diikuti beberapa musisi lain dari komunitas Potlot. Sayang, pada tahun-tahun selanjutnya musik reggae mulai sayup terdengar. Reggae hanya eksis dalam komunitas yang terbatas, sampai kemudian di awal milenium baru beberapa musisi mulai mencoba menghidupkan kembali musik ini.

Memang, di saat akses informasi semakin luas dan terbuka seperti sekarang, hampir tak mungkin membuat satu tren musik yang dominan, termasuk reggae. Namun demikian, kehadiran kembali reggae setidaknya membuat musik Indonesia menjadi lebih segar dan berwarna. Dengan demikian, reggae dapat terus berkembang dan membiak melalui perkawinan dengan warna musik lainnya. Selain itu, rasanya kehadiran kembali reggae berada pada momentum yang pas. Di zaman susah seperti sekarang, ketika bencana hadir silih berganti, saat kecelakaan datang bertubi-tubi, dan kemiskinan kian melahirkan banyak tragedi, musik reggae mengajak kita menghadapi semuanya dengan kritis, sekaligus tetap riang dan optimistis. ***

Oleh UKON AHMAD FURKON
Penulis, pemerhati musik, tinggal di Bandung bekerja di Jakarta.
http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2007/042007/22/0502.htm



Labels:

| Baca Selengkapnya |

Seputar Ukonisme

Komentar Terbaru

Arsip Bulanan

Sejak Februari 2007

Web Site Hit Counters

netter sedang online