Catatan Musik 2008: Berharap Menjadi Titik Balik
Atau buka di link Pikiran Rakyat, 28 Desember 2008
SETELAH tahun lalu prihatin atas perkembangan kualitas musik populer Indonesia, apa daya di sepanjang 2008 keprihatinan itu justru semakin kuat saja. Bahkan, jika sebelumnya kita dihadapkan pada karya-karya tak bermutu, dengan segala permohonan maaf, pada tahun ini begitu banyak lagu populer nasional yang tidak saja tak bermutu, tetapi juga terperosok menjadi sampah. Simak lagu-lagu dari grup semacam Wali Band yang rusak, baik secara moral maupun estetik.
Sepanjang tahun 2008 band-band baru memang bermunculan, sampai kita tak mampu mengingat satu per satu saking banyaknya. Sayangnya, sebagian besar di antaranya terperangkap kerangkeng industri sehingga yang muncul adalah karya-karya tak cerdas dan serbaseragam sampai kita tak mampu membedakan satu dengan yang lain saking miripnya.
Jika dirunut dalam satu dekade terakhir, dapat dikatakan kualitas musik Indonesia sekarang ini berada pada titik terendah. Tak salah jika musisi sekaliber Yockie Suryoprayogo begitu panjang berkeluh kesah akan kondisi ini, termasuk dalam blognya. Dalam sebuah perbincangan dengan penulis, Yockie berkata, "Di zaman dahulu karena industri masih lemah maka kondisi tersebut justru memberikan ruangan yang luas bagi seniman pemusik untuk berkarya dan berekspresi sesuai tuntutan pikirannya sendiri-sendiri. Di zaman ini, ’zaman industri’, kalau Anda (pemusik) jauh dari ’estetika MTV’ maka bersiaplah untuk dikotakkan dalam peti mati."
Namun, sekadar menyesali keadaan tentu bukan jalan keluar. Dalam kacamata konstruktif, kita berharap kondisi memprihatikan di tahun 2008 menjadi semacam titik balik untuk kualitas dan masa depan musik Indonesia yang jauh lebih baik. Jika titik terendah sudah ditapaki, tak ada pilihan lain selain saat ini dijadikan momentum untuk menapak bangkit.
Kehadiran beberapa pendatang baru yang bermutu menjadi daya penguat bahwa harapan itu bukannya tanpa tunas sama sekali. Simak di antaranya projek "Kepompong" yang diusung Sind3ntosca. Dengan pilihan tema yang cerdas dan dibungkus dengan selera bahasa berkelas serta diiringi adonan musik yang ringan namun segar, Sind3ntosca membawa bukti nyata bahwa musik Indonesia sesungguhnya bisa membanggakan.
Tiga strategi
Lantas, ruang-ruang apa yang dapat dimanfaatkan agar di tahun mendatang musik Indonesia dapat bergerak maju memulai titik baliknya? Setidaknya ada tiga strategi yang dapat ditempuh. Ketiga ruang atau strategi itu dapat disinergikan satu dengan yang lain.
Strategi pertama, menguatkan jalur independen. Jika label-label besar masih belum bisa dijadikan sandaran asa dalam mengangkat derajat musik Indonesia, satu-satunya harapan adalah jalur independen. Di tahun 2008, Dewi Lestari memanfaatkan jalur ini dengan baik dengan menelurkan album bermutu bertitel "Recto Verso" di bawah bendera Good Faith. Langkah independen juga ditempuh oleh Naif dan Fariz R.M. yang bekerja sama dengan sebuah majalah musik, meskipun dalam skala yang masih terbatas.
Tak perlu takut dan tak perlu gengsi untuk memanfaatkan jalur independen. Jalur ini bukan halangan untuk menangguk sukses. Band yang telah lebih dahulu mengoptimalkan jalur independen seperti halnya Slank dengan Slank Record-nya terbukti mampu exist, baik dari sisi ekspresi maupun ekonomi. Bahkan, di tahun 2008 Slank membuat catatan manis dengan merintis album internasional dan dipasarkan di luar negeri.
Di tahun 2009, jalur independen semoga semakin kukuh dan menjadi salah satu pintu untuk keluar dari jebak industri musik yang stagnan. Tak kurang musisi sekaliber Iwan Fals telah menggagas berdirinya PT Tiga Rambu dan berencana akan menelurkan album baru dengan label pribadinya ini.
Kendala utama yang menjadi hambatan sebagian besar musisi untuk memanfaatkan jalur independen boleh jadi adalah modal. Bagaimanapun, memang butuh modal besar jika tak bergerak di bawah produser dan label yang sudah mapan. Namun dengan perhitungan matang, modal itu pasti akan kembali, terlebih jika mampu menggaet sponsor yang memiliki visi dan idealisme sama.
Strategi kedua, mengoptimalkan pemanfaatan perkembangan jaringan internet dan teknologi multimedia. Ihwal teknologi ini memang ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, teknologi dapat semakin memudahkan para pembajak untuk melancarkan aksinya. Bahkan, karena teknologi yang makin mudah dan murah, pembajakan musik saat ini sudah pada tingkat personal.
Namun, daripada berharap terlalu banyak agar aparat yang berwenang mampu membenahi masalah ini, lebih baik mengoptimalkan pemanfaatan jaringan internet dan teknologi multimedia untuk membuka celah-celah baru bagi industri musik. Selain dunia seluler yang telah membawa berkah, terutama dengan penjualan nada tunggu (ring back tone/RBT), jaringan internet dan gerai digital telah pula melahirkan celah untuk memasarkan lagu secara eceran dalam bentuk soft file. Hal ini antara lain telah dimanfaatkan oleh Iwan Fals dan Indra Lesmana saat memasarkan lagu "Selancar" dan "Haruskan Pergi", juga Nugie dengan lagu "Lentera Jiwa".
Pemanfaatan teknologi digital dan jaringan internet semakin kukuh dengan hadirnya pelaku-pelaku industri musik yang menyeriusi jalur ini. Diawali oleh Import Music yang digawangi Anang Hermansyah dan kawan-kawan, kini telah hadir pula Netlabel dan Nubuzz Network. Kehadiran teknologi digital dan jaringan internet ini menjadi solusi bagi musisi yang ingin memanfaatkan jalur independen dengan biaya produksi yang murah dan jaringan yang tetap luas.
Strategi ketiga, mengukuhkan sinergi dengan industri film. Perkembangan industri film dalam negeri yang mulai bergairah, termasuk hadirnya beberapa tema alternatif, membuka ruang bagi perkembangan industri musik tanah air agar lahir karya-karya beragam warna di luar warna musik dan pilihan tema mainstream. Di tahun 2008, Nidji bersama Mira Lesmana telah memberikan contoh dengan membuat kolaborasi yang begitu baik lewat projek "Laskar Pelangi". Di tahun mendatang, kita berharap akan semakin banyak karya film bermutu yang diiringi soundtrack-nya yang juga bermutu.
Lepas dari segala strategi yang mungkin ditempuh, berwibawa tidaknya musik dalam negeri kembali kepada para pelakunya sendiri. Sejatinya, musik tidak semata dipandang sebagai profesi untuk menghidupi kebutuhan hidup. Musik juga adalah alat ekspresi untuk mengomunikasikan ide-ide dalam membangun peradaban, memberikan sumbangan pemikiran bagi kehidupan bersama. Selama musik sekadar dipandang sebagai profesi, selama itu pula musik Indonesia akan berada dalam titik nadir, riuh tapi tak memberikan nilai tambah. ***
Ukon Ahmad Furqon
Penulis, pemerhati musik.
SETELAH tahun lalu prihatin atas perkembangan kualitas musik populer Indonesia, apa daya di sepanjang 2008 keprihatinan itu justru semakin kuat saja. Bahkan, jika sebelumnya kita dihadapkan pada karya-karya tak bermutu, dengan segala permohonan maaf, pada tahun ini begitu banyak lagu populer nasional yang tidak saja tak bermutu, tetapi juga terperosok menjadi sampah. Simak lagu-lagu dari grup semacam Wali Band yang rusak, baik secara moral maupun estetik.
Sepanjang tahun 2008 band-band baru memang bermunculan, sampai kita tak mampu mengingat satu per satu saking banyaknya. Sayangnya, sebagian besar di antaranya terperangkap kerangkeng industri sehingga yang muncul adalah karya-karya tak cerdas dan serbaseragam sampai kita tak mampu membedakan satu dengan yang lain saking miripnya.
Jika dirunut dalam satu dekade terakhir, dapat dikatakan kualitas musik Indonesia sekarang ini berada pada titik terendah. Tak salah jika musisi sekaliber Yockie Suryoprayogo begitu panjang berkeluh kesah akan kondisi ini, termasuk dalam blognya. Dalam sebuah perbincangan dengan penulis, Yockie berkata, "Di zaman dahulu karena industri masih lemah maka kondisi tersebut justru memberikan ruangan yang luas bagi seniman pemusik untuk berkarya dan berekspresi sesuai tuntutan pikirannya sendiri-sendiri. Di zaman ini, ’zaman industri’, kalau Anda (pemusik) jauh dari ’estetika MTV’ maka bersiaplah untuk dikotakkan dalam peti mati."
Namun, sekadar menyesali keadaan tentu bukan jalan keluar. Dalam kacamata konstruktif, kita berharap kondisi memprihatikan di tahun 2008 menjadi semacam titik balik untuk kualitas dan masa depan musik Indonesia yang jauh lebih baik. Jika titik terendah sudah ditapaki, tak ada pilihan lain selain saat ini dijadikan momentum untuk menapak bangkit.
Kehadiran beberapa pendatang baru yang bermutu menjadi daya penguat bahwa harapan itu bukannya tanpa tunas sama sekali. Simak di antaranya projek "Kepompong" yang diusung Sind3ntosca. Dengan pilihan tema yang cerdas dan dibungkus dengan selera bahasa berkelas serta diiringi adonan musik yang ringan namun segar, Sind3ntosca membawa bukti nyata bahwa musik Indonesia sesungguhnya bisa membanggakan.
Tiga strategi
Lantas, ruang-ruang apa yang dapat dimanfaatkan agar di tahun mendatang musik Indonesia dapat bergerak maju memulai titik baliknya? Setidaknya ada tiga strategi yang dapat ditempuh. Ketiga ruang atau strategi itu dapat disinergikan satu dengan yang lain.
Strategi pertama, menguatkan jalur independen. Jika label-label besar masih belum bisa dijadikan sandaran asa dalam mengangkat derajat musik Indonesia, satu-satunya harapan adalah jalur independen. Di tahun 2008, Dewi Lestari memanfaatkan jalur ini dengan baik dengan menelurkan album bermutu bertitel "Recto Verso" di bawah bendera Good Faith. Langkah independen juga ditempuh oleh Naif dan Fariz R.M. yang bekerja sama dengan sebuah majalah musik, meskipun dalam skala yang masih terbatas.
Tak perlu takut dan tak perlu gengsi untuk memanfaatkan jalur independen. Jalur ini bukan halangan untuk menangguk sukses. Band yang telah lebih dahulu mengoptimalkan jalur independen seperti halnya Slank dengan Slank Record-nya terbukti mampu exist, baik dari sisi ekspresi maupun ekonomi. Bahkan, di tahun 2008 Slank membuat catatan manis dengan merintis album internasional dan dipasarkan di luar negeri.
Di tahun 2009, jalur independen semoga semakin kukuh dan menjadi salah satu pintu untuk keluar dari jebak industri musik yang stagnan. Tak kurang musisi sekaliber Iwan Fals telah menggagas berdirinya PT Tiga Rambu dan berencana akan menelurkan album baru dengan label pribadinya ini.
Kendala utama yang menjadi hambatan sebagian besar musisi untuk memanfaatkan jalur independen boleh jadi adalah modal. Bagaimanapun, memang butuh modal besar jika tak bergerak di bawah produser dan label yang sudah mapan. Namun dengan perhitungan matang, modal itu pasti akan kembali, terlebih jika mampu menggaet sponsor yang memiliki visi dan idealisme sama.
Strategi kedua, mengoptimalkan pemanfaatan perkembangan jaringan internet dan teknologi multimedia. Ihwal teknologi ini memang ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, teknologi dapat semakin memudahkan para pembajak untuk melancarkan aksinya. Bahkan, karena teknologi yang makin mudah dan murah, pembajakan musik saat ini sudah pada tingkat personal.
Namun, daripada berharap terlalu banyak agar aparat yang berwenang mampu membenahi masalah ini, lebih baik mengoptimalkan pemanfaatan jaringan internet dan teknologi multimedia untuk membuka celah-celah baru bagi industri musik. Selain dunia seluler yang telah membawa berkah, terutama dengan penjualan nada tunggu (ring back tone/RBT), jaringan internet dan gerai digital telah pula melahirkan celah untuk memasarkan lagu secara eceran dalam bentuk soft file. Hal ini antara lain telah dimanfaatkan oleh Iwan Fals dan Indra Lesmana saat memasarkan lagu "Selancar" dan "Haruskan Pergi", juga Nugie dengan lagu "Lentera Jiwa".
Pemanfaatan teknologi digital dan jaringan internet semakin kukuh dengan hadirnya pelaku-pelaku industri musik yang menyeriusi jalur ini. Diawali oleh Import Music yang digawangi Anang Hermansyah dan kawan-kawan, kini telah hadir pula Netlabel dan Nubuzz Network. Kehadiran teknologi digital dan jaringan internet ini menjadi solusi bagi musisi yang ingin memanfaatkan jalur independen dengan biaya produksi yang murah dan jaringan yang tetap luas.
Strategi ketiga, mengukuhkan sinergi dengan industri film. Perkembangan industri film dalam negeri yang mulai bergairah, termasuk hadirnya beberapa tema alternatif, membuka ruang bagi perkembangan industri musik tanah air agar lahir karya-karya beragam warna di luar warna musik dan pilihan tema mainstream. Di tahun 2008, Nidji bersama Mira Lesmana telah memberikan contoh dengan membuat kolaborasi yang begitu baik lewat projek "Laskar Pelangi". Di tahun mendatang, kita berharap akan semakin banyak karya film bermutu yang diiringi soundtrack-nya yang juga bermutu.
Lepas dari segala strategi yang mungkin ditempuh, berwibawa tidaknya musik dalam negeri kembali kepada para pelakunya sendiri. Sejatinya, musik tidak semata dipandang sebagai profesi untuk menghidupi kebutuhan hidup. Musik juga adalah alat ekspresi untuk mengomunikasikan ide-ide dalam membangun peradaban, memberikan sumbangan pemikiran bagi kehidupan bersama. Selama musik sekadar dipandang sebagai profesi, selama itu pula musik Indonesia akan berada dalam titik nadir, riuh tapi tak memberikan nilai tambah. ***
Ukon Ahmad Furqon
Penulis, pemerhati musik.
Labels: Opini Musik Seni
| Baca Selengkapnya |