Dejavu di Katumiri
Katumiri, 21 Desember. Rasanya seperti dejavu. Dulu aroma rumput yang sejuk itu adalah sehabat di setiap waktu. Dulu rindang pepohonan dan gemericik air yang rimbun itu kutemui di setiap penjuru. Tapi kini, Katumiri, hanya sedikit waktu dari 365 dzuhur yang lebih banyak dihabiskan di bawah sinar lampu, di antara dengus dingin dari bensin yang asing.
Pernahkan kita kecewa lahan-lahan kosong disulap jadi aspal, semen, dan batu, tanpa menyisakan ruang bagi tumbuhan dan burung-burung untuk bernafas? Pernahkah kita merasakan akibatnya, kabut-kabut yang tak bernyawa? Lalu, kipas dan AC semakin jadi incaran, sedangkan kita begitu enggan menanam pohon-pohon kehidupan. ***
Pernahkan kita kecewa lahan-lahan kosong disulap jadi aspal, semen, dan batu, tanpa menyisakan ruang bagi tumbuhan dan burung-burung untuk bernafas? Pernahkah kita merasakan akibatnya, kabut-kabut yang tak bernyawa? Lalu, kipas dan AC semakin jadi incaran, sedangkan kita begitu enggan menanam pohon-pohon kehidupan. ***
Labels: Diary
| Baca Selengkapnya |