Retak Peterpan, Wajar Heboh atau Heboh tak Wajar?
Oleh UKON AHMAD FURKON
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/08/1001.htm
RETAK Peterpan membuat heboh. Dari analisis musik hingga gosip, dari prediksi industrial hingga korek-korek personel, berseliweran di pasar musik. Adakah perubahan formasi di tubuh band asal Bandung ini merupakan sesuatu yang tak wajar dan patut dihebohkan? Ataukah kehebohan itu sendiri yang justru tak wajar dan tak lagi kontekstual?
Jika kita merunut sejarah musik populer di tanah air, perubahan atau pergantian personel di tubuh sebuah band sesungguhnya bukanlah kisah langka atau hanya fenomena kekinian. Band-band yang besar di era 1970-an hingga 1990-an banyak yang mesti melewati kisah bongkar pasang pemain. Tengok saja God Bless, Gong 2000, Elpamas, Grass Rock, Edane, Boomerang, KLa Project, dan masih banyak lagi.
Demikian pula dengan grup-grup yang lebih baru atau yang kini tengah berkibar. Dari mulai Dewa 19, GIGI, Slank, Pas Band, Sheila on 7, Ada Band, BIP, Netral, The Fly, The Groove, Element, Ratu, hingga Peterpan dan /rif, harus rela mengalami perubahan personel.
Dapat dikatakan, sangat sedikit band yang mampu mempertahankan keutuhan personel dalam jangka panjang. Sebagian di antaranya terjadi karena adanya pengunduran diri, seperti yang dilakukan Baron dari GIGI, Richard (Pas band), Sakti (Sheila on 7), Lucky Wija (Element), atau Iwan (/rif). Sebagian lainnya terjadi karena pemberhentian oleh mayoritas personel, otoritas grup, atau manajemen, seperti yang sempat terjadi pada Dewa 19, Slank, BIP, Ratu, dan kini Peterpan.
Pengunduran diri umumnya terjadi karena personel yang bersangkutan ingin bersolo karier, mencari suasana baru di grup lain, meniti karier di jalur lain, atau alasan-alasan lain yang bersifat pribadi. Sedangkan pemberhentian biasa terjadi karena persoalan-persoalan indisipliner, pelanggaran kode etik atau peraturan-peraturan dalam grup, serta visi bermusik yang tak lagi bisa ¬disatukan.
Masalah perbedaan visi seringkali dipandang sebagai alasan klise atau mengada-ada. Padahal visi dalam bermusik, sebagaimana dalam pekerjaan lain, merupakan hal yang teramat vital.
Personel dalam sebuah band, ibarat para koki yang bekerja sama membuat hidangan. Hidangan lezat dapat tercipta jika mereka mampu bekerja sama, memiliki tujuan dan cita-cita yang sama, saling bersinergi dan melengkapi. Hidangan lezat tak mungkin tercipta jika ada koki yang sudah merasa tak nyaman lagi dalam bekerja atau sebagian koki memandang sudah tak ada kesamaan cita-cita.
Tak heran jika grup seperti Swami atau Kantata membuat konsep workshop dalam grup mereka untuk menghindari istilah pemberhentian atau pengunduran diri.
Yang menjadi ikatan bersama adalah visi dalam bermusik, bukan kesamaan formasi personel. Dengan demikian, dalam setiap pembuatan album, visi bermusiklah yang tetap dipegang. Sedangkan personelnya dapat berubah disesuaikan dengan kesediaan personel yang bersangkutan dan kebutuhan album.
Komunikasi dan musyawarah
Pengunduran diri atau pemberhentian pastilah bukan pilihan gampang. Para personel telah bersama-sama jatuh bangun menghidupkan dan mengeksiskan band mereka dengan segala pengorbanan dan dinamikanya. Ada sejarah, ada ragam keterikatan, yang tak mungkin dilepaskan begitu saja. Bagi grup yang tengah naik daun seperti Peterpan, perubahan formasi pun menjadi pilihan konyol jika tidak dilatarbelakangi oleh alasan mendasar.
Kendati berat, jika ada personel sebuah band yang ingin mengundurkan diri, tentu merupakan bagian dari hak mendasar manusia yang perlu dihargai dan mustahil dicegah.
Demikian pula dengan pemberhentian, merupakan pilihan yang tak dapat diharamkan. Band sebagai satu kesatuan berhak eksis mewujudkan visi bersama. Namun, perubahan formasi seyogianya diletakkan sebagai pilihan terakhir setelah pilihan-pilihan lain dilewati. Bagaimanapun keutuhan grup menjadi catatan manis tersendiri, kecuali jika sejak awal grup yang bersangkutan telah diformat workshop.
Catatan lain, baik pengunduran diri ataupun pemberhentian haruslah dilakukan dengan cara dan proses yang benar sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau tersakiti. Untuk itu, komunikasi dan musyawarah menjadi dua kebutuhan mutlak. Selanjutnya, personel yang telah berada di luar grup, harus pula dipastikan menerima hak-hak yang semestinya, baik secara ekspresi maupun ekonomi.
Dengan demikian, dengan cara dan proses yang benar, perubahan formasi dalam sebuah band adalah sebuah peristiwa alami yang tak perlu dihebohkan apalagi didramatisasi. Band adalah potret kecil dari kehidupan yang terus tumbuh dan dinamik. Karena itu, publik musik pun perlu menyikapinya dengan dewasa dan wajar. Terlebih apresiasi yang baik, mestinya tidak terantuk pada siapa yang menghasilkan, tetapi pada kualitas karya yang tercipta. ***
Penulis, pemerhati musik, tinggal di Bandung bekerja di Jakarta
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/112006/08/1001.htm
RETAK Peterpan membuat heboh. Dari analisis musik hingga gosip, dari prediksi industrial hingga korek-korek personel, berseliweran di pasar musik. Adakah perubahan formasi di tubuh band asal Bandung ini merupakan sesuatu yang tak wajar dan patut dihebohkan? Ataukah kehebohan itu sendiri yang justru tak wajar dan tak lagi kontekstual?
Jika kita merunut sejarah musik populer di tanah air, perubahan atau pergantian personel di tubuh sebuah band sesungguhnya bukanlah kisah langka atau hanya fenomena kekinian. Band-band yang besar di era 1970-an hingga 1990-an banyak yang mesti melewati kisah bongkar pasang pemain. Tengok saja God Bless, Gong 2000, Elpamas, Grass Rock, Edane, Boomerang, KLa Project, dan masih banyak lagi.
Demikian pula dengan grup-grup yang lebih baru atau yang kini tengah berkibar. Dari mulai Dewa 19, GIGI, Slank, Pas Band, Sheila on 7, Ada Band, BIP, Netral, The Fly, The Groove, Element, Ratu, hingga Peterpan dan /rif, harus rela mengalami perubahan personel.
Dapat dikatakan, sangat sedikit band yang mampu mempertahankan keutuhan personel dalam jangka panjang. Sebagian di antaranya terjadi karena adanya pengunduran diri, seperti yang dilakukan Baron dari GIGI, Richard (Pas band), Sakti (Sheila on 7), Lucky Wija (Element), atau Iwan (/rif). Sebagian lainnya terjadi karena pemberhentian oleh mayoritas personel, otoritas grup, atau manajemen, seperti yang sempat terjadi pada Dewa 19, Slank, BIP, Ratu, dan kini Peterpan.
Pengunduran diri umumnya terjadi karena personel yang bersangkutan ingin bersolo karier, mencari suasana baru di grup lain, meniti karier di jalur lain, atau alasan-alasan lain yang bersifat pribadi. Sedangkan pemberhentian biasa terjadi karena persoalan-persoalan indisipliner, pelanggaran kode etik atau peraturan-peraturan dalam grup, serta visi bermusik yang tak lagi bisa ¬disatukan.
Masalah perbedaan visi seringkali dipandang sebagai alasan klise atau mengada-ada. Padahal visi dalam bermusik, sebagaimana dalam pekerjaan lain, merupakan hal yang teramat vital.
Personel dalam sebuah band, ibarat para koki yang bekerja sama membuat hidangan. Hidangan lezat dapat tercipta jika mereka mampu bekerja sama, memiliki tujuan dan cita-cita yang sama, saling bersinergi dan melengkapi. Hidangan lezat tak mungkin tercipta jika ada koki yang sudah merasa tak nyaman lagi dalam bekerja atau sebagian koki memandang sudah tak ada kesamaan cita-cita.
Tak heran jika grup seperti Swami atau Kantata membuat konsep workshop dalam grup mereka untuk menghindari istilah pemberhentian atau pengunduran diri.
Yang menjadi ikatan bersama adalah visi dalam bermusik, bukan kesamaan formasi personel. Dengan demikian, dalam setiap pembuatan album, visi bermusiklah yang tetap dipegang. Sedangkan personelnya dapat berubah disesuaikan dengan kesediaan personel yang bersangkutan dan kebutuhan album.
Komunikasi dan musyawarah
Pengunduran diri atau pemberhentian pastilah bukan pilihan gampang. Para personel telah bersama-sama jatuh bangun menghidupkan dan mengeksiskan band mereka dengan segala pengorbanan dan dinamikanya. Ada sejarah, ada ragam keterikatan, yang tak mungkin dilepaskan begitu saja. Bagi grup yang tengah naik daun seperti Peterpan, perubahan formasi pun menjadi pilihan konyol jika tidak dilatarbelakangi oleh alasan mendasar.
Kendati berat, jika ada personel sebuah band yang ingin mengundurkan diri, tentu merupakan bagian dari hak mendasar manusia yang perlu dihargai dan mustahil dicegah.
Demikian pula dengan pemberhentian, merupakan pilihan yang tak dapat diharamkan. Band sebagai satu kesatuan berhak eksis mewujudkan visi bersama. Namun, perubahan formasi seyogianya diletakkan sebagai pilihan terakhir setelah pilihan-pilihan lain dilewati. Bagaimanapun keutuhan grup menjadi catatan manis tersendiri, kecuali jika sejak awal grup yang bersangkutan telah diformat workshop.
Catatan lain, baik pengunduran diri ataupun pemberhentian haruslah dilakukan dengan cara dan proses yang benar sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau tersakiti. Untuk itu, komunikasi dan musyawarah menjadi dua kebutuhan mutlak. Selanjutnya, personel yang telah berada di luar grup, harus pula dipastikan menerima hak-hak yang semestinya, baik secara ekspresi maupun ekonomi.
Dengan demikian, dengan cara dan proses yang benar, perubahan formasi dalam sebuah band adalah sebuah peristiwa alami yang tak perlu dihebohkan apalagi didramatisasi. Band adalah potret kecil dari kehidupan yang terus tumbuh dan dinamik. Karena itu, publik musik pun perlu menyikapinya dengan dewasa dan wajar. Terlebih apresiasi yang baik, mestinya tidak terantuk pada siapa yang menghasilkan, tetapi pada kualitas karya yang tercipta. ***
Penulis, pemerhati musik, tinggal di Bandung bekerja di Jakarta
Labels: Opini Musik Seni
| Baca Selengkapnya |