| Opini Musik & Seni | Opini & Resensi | Puisi | Cerpen | Refleksi |  

    | 

« Kembali ke Muka | Retak Peterpan, Wajar Heboh atau Heboh tak Wajar? » | Kisah Kembara » | Tanpa Sisa » | Kutitipkan Salam » | Aku Sedang Mencari Cinta » | Museum Musik dan Nasib Musik Tradisi » | Duka Mendalam Meninggalnya Wartawan » | Konsumsi Kerang dan Udang Membahayakan Kesehatan, ... » | Lagu Unik Iwan Fals » | Suaranya Gemuruh, Memecah Ketentraman Bumi... »

Kepekaan yang Menyusut

Oleh UKON AHMAD FURKON

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1205/24/0108.htm

BICARA pesona Kota Bandung, tentu bukan hanya factory outlet atau beragam tawaran kuliner yang mengundang selera. Tidak sekadar perguruan-perguruan tinggi ternama, atau cuma Tangkuban Parahu, bahkan mal yang makin menjamur.

Kota berusia 195 tahun ini juga menyimpan ragam pesona lain. Salah satunya, Bandung sudah sejak lama dikenal sebagai kota musik. Selain masyarakatnya terbilang apresiatif, Bandung pun memiliki banyak komunitas dan institusi musik, sebuah suasana kondusif bagi talenta-talenta baru untuk tumbuh dan berkembang.

Besarnya kontribusi Bandung terhadap industri musik di tanah air dapat dilihat pada perjalanan sepanjang 2005. Kiprah insan musik asal Kota Kembang tampak begitu dominan, tak hanya dalam ranah pop, jazz, tetapi juga hingga ke indie atau underground.

Salah satunya, siapa lagi kalau bukan Peterpan. Tahun 2005 boleh dikatakan merupakan milik mereka. Selain melejitkan penjualan album "Bintang di Surga" hingga tiga juta keping, Peterpan sukses pula menyabet tujuh penghargaan Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2005. Sebelumnya, berbekal karakter vokal Ariel yang kuat serta konsep "murung" pada liriknya, grup ini sukses pula menggondol penghargaan Best Selling Album of the Year pada acara Penghargaan MTV Indonesia 2005.

Tak hanya itu. Dengan penggemar lintas usia, konser Peterpan yang begitu kerap digelar sepanjang tahun, terus dipadati penonton. Bahkan, konser mereka di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah (21/11) yang dipadati 25.000 orang, menjadi catatan rekor penonton untuk konser yang digelar di kota kecil.

Pada peluncuran OST "Alexandria", Peterpan pun membuat sensasi dengan menggelar konser spektakuler dari depan Dago Plaza Bandung. Sementara itu, dalam konser bareng Spin Doctor-Peterpan di Jakarta (1/6), Ariel dkk. mampu menunjukkan taji musisi kita, bahkan performance mereka terasa lebih "nendang" dibanding Spin Doctor, grup asal New York, AS, yang sempat melesat di era 1990-an.

Kini, setelah mengenyam sukses, Peterpan berada pada masa penuh tantangan. Mempertahankan keberhasilan, jauh lebih sukar dari pada saat meraihnya. Mengelola tampilan dari sisi kualitas maupun frekuensi, menjaga kondusivitas berkreasi, menempatkan pasar dan produser secara proporsional, serta menyeimbangkan antara keinginan untuk mempertahankan ciri khas dengan tuntutan metamorfosis musikalitas, merupakan beberapa kunci agar puncak popularitas bertahan lama.

Pada genre yang lain, dua grup asal Bandung lainnya, Seurieus dan GIGI, sukses pula membuat gebrakan. Melalui album "Rocker Juga Manusia", Seurieus yang menyandang gelar grup rock terbaik versi AMI 2005, mengangkat rasa baru rock 1980-an yang dipadu dengan lirik-lirik jenaka.

Sementara itu, GIGI menerabas "tabu" dengan merekonstruksi lagu-lagu Islami lawas yang kental bernuansa kasidah atau nasyid, menjadi musik khas GIGI yang enerjik. Hasilnya, penghargaan platinum pun menghampiri.

Di ranah indie atau underground, musisi asal Bandung juga menunjukkan tajinya. Seringai, yang konsisten di jalur metal, melesat dengan debut mini album yang menelurkan hits propokatif, "Membakar Jakarta". Para personelnya yang merangkap bekerja di penerbitan, penyiaran, dan rumah produksi video klip, membuat Seringai menjadi kelompok musik yang sangat menguasai media. Tantangan berikutnya, bagaimana agar musik racikan para alumni ITB ini dapat dinikmati secara lebih massif. Untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, menggaet major label, barang kali menjadi pilihan yang susah dielakkan.

Grup indie asal Bandung lainnya, Mocca makin mengukuhkan

eksistensinya. Berbekal paduan bosanova, rock & roll, disko, dan waltz, grup ini juga mulai dikenal di mancanegara. Boleh dikatakan, Mocca merupakan satu-satunya grup indie Indonesia yang paling banyak manggung di luar kandang. Bahkan, album-album mereka sudah dapat diperoleh di beberapa outlet luar negeri, seperti Jepang, Korea, Singapura, dan Thailand.

Tahun 2005, Mocca menelurkan album soundtrack film "Untuk Rena". Melalui album ini, mereka membuat terobosan baru dengan merilis dua lagu berlirik Indonesia, sesuatu yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.

Nama lainnya adalah She. Dalam dominasi band laki-laki, She yang seluruh personelnya perempuan ini menyeruak sendirian. Jika grup ini lebih ajek dengan ciri khas sendiri dan keluar secara lebih tegas dari influence The Corrs, masa depan cerah ada di genggaman Roxanna "Riri" Lamria dkk.

Masih terdapat sederet insan musik asal Bandung yang mencuat dalam peta musik nasional sepanjang 2005. Ada Project Pop yang telah lebih dulu populer, grup indie seperti The Panasdalam, hingga Mulan, yang mampu mengangkat kembali pamor duo Ratu.

Jika saja didukung infrastruktur musik yang lebih memadai, dengan banyaknya talenta serta publik musik yang kondusif, sesungguhnya Bandung bisa menjadi kota musik yang sesungguhnya dan menyeluruh.

Terlebih akses Bandung-Jakarta kini semakin mudah sehingga soal keterkaitan dengan industri lain, semisal industri penyiaran televisi, tak lagi jadi kendala. Bandung bisa menjadi semacam Bollywood di India, yang dari segala sisi telah menjelma sebagai kota film.

Sayangnya, potensi yang besar itu sepertinya belum diendus dengan baik oleh pemerintah kota. Jangankan tertuang dalam rencana strategis daerah, dalam tindakan-tindakan praktis di lapangan pun belum kelihatan. Akibatnya, sampai saat ini Bandung baru sebatas menyumbang begitu banyak insan musik. Mereka harus hijrah ke Jakarta atau menggunakan fasilitas-fasilitas Jakarta untuk bisa menasional. Sementara itu, industri musik Bandung sendiri belum berkembang, padahal sangat potensial menggerakkan ekonomi lokal dan menjadi identitas lain Kota Kembang.

Diva dan geliat jazz

Sebagaimana tampak dalam komposisi musisi asal Bandung, secara umum jagat musik nasional sepanjang 2005 lebih banyak didominasi grup. Ada Radja, Dewa, Padi, hingga Ada Band. Album-album mereka terjual ratusan ribu hingga jutaan keping, prestasi yang kian susah diraih di tengah kian ekstensif dan intensifnya ulah para pembajak dan perkembangan teknologi digital yang makin memudahkan terjadinya pelanggaran hak cipta.

Disamping nama-nama yang telah lebih dulu dikenal, musik 2005 juga diwarnai wajah baru. Untuk solois ada Ello yang sukses menggaet anugerah "Pendatang Baru Terbaik" dan "Album Pop Terbaik AMI Awards 2005". Ada pula nama-nama solois produk kontes menyanyi yang mulai merilis album seperti Helena dan Mike. Sementara di deretan grup muncul nama Kerispatih, Tangga, Maliq & d'Essential, Kotak Band, dll.

Jika grup masih mendominasi industri rekaman, di panggung konser terdapat satu fenomena menarik. Di tahun 2005, tercatat beberapa solois perempuan menggelar konser tunggal, sebuah pemandangan yang jarang ditemukan di tahun-tahun sebelumnya. Mereka antara lain Krisdayanti yang menggelar konser pada 24 Maret, Ruth Sahanaya (15/9), dan Titi DJ (30/9). Kendati sama-sama digelar di tempat mahal Jakarta Convention Center, konser para diva tersebut terbukti sukses dengan tiket ludes terjual. Ini membuktikan bahwa konser solois pun mampu menyedot atensi jika digarap dan dipersiapkan dengan matang.

Catatan manis yang juga tercatat di bidang pertunjukan musik adalah mulai menggeliatnya kembali perhelatan jazz. Pada 4-6 Maret, Peter F. Gontha dkk., kembali menggelar perhelatan jazz bertaraf internasional, Java Jazz Festival 2005 di Jakarta. Selanjutnya, pada 18-20 November digelar Bali Jazz Festival di Hardrock Cafe, Bali.

Tak lama berselang, Jazz Goes to Campus hadir di UI Depok, menyodorkan apresiasi musisi muda termasuk musisi jazz termuda kota Bandung, Zefa. Zefa yang pernah menyabet rekor MURI sebagai solo piano konser 2004, tampil memukau sekaligus sebagai salah satu sosok generasi penerus jazz masa datang.

Geliat jazz juga ditandai berbagai perhelatan jazz mulai dari safari musisi jazz mancanegara, Bob James hingga dalam format lebih kecil, seperti "Jazz for Aceh" (19/1) dan "Two Love Jazz - The Art of Duo" (16/2) yang mempertemukan dua pendekar jazz Indonesia, Indra Lesmana dan Bubi Chen.

Sepanjang 2005, nyaris tidak ada album jazz yang berhasil diproduksi, apalagi populer. Inisiasi cemerlang seperti yang sempat dilakukan Indra Lesmana lewat projek "Reborn" atau OST "Rumah Ketujuh" beberapa tahun lalu, kini belum muncul kembali.

Menyusut

Tanpa menafikan ragam persoalan dan tantangan yang dihadapi, sepanjang 2005 musik Indonesia mampu menunjukkan geliatnya. Bahkan, menyusul Anggun yang telah lebih dulu mengecap sukses dunia, beberapa nama seperti Dewa dan Mocca juga mulai mencoba karier internasional, minimal Asia.

Selain itu, apresiasi pantas diberikan kepada penyelenggaraan AMI yang terus bermetamorfosis, antara lain dengan mulai diberikannya penghargaan kepada insan-insan musik di belakang layar serta penataan malam anugerah yang lebih gebyar. Industri musik pun patut berterima kasih kepada insan film.

Perkembangan positif di layar lebar ikut memberikan imbas mutualistis dengan dirilisnya cukup banyak album soundtrack. Hanya saja, di saat geliat ditunjukkan, ada satu fenomena mengkhawatirkan.

Ketika ragam persoalan menimpa negeri, dari mulai bencana tsunami, kenaikan harga BBM yang luar biasa tinggi, kecelakaan pesawat hingga kereta api, terorisme, hingga wabah kelaparan yang telah merenggut banyak korban, musik kita sepertinya mulai kehilangan kepekaannya.

Musik seperti tengah hidup dalam ruang isolasi, asyik dengan diri sendiri. Di era lalu, ketika kekuasaan mengkhianati rakyat serta persoalan berbangsa datang silih berganti, lahir seniman-seniman musik yang tegas menunjukkan kepekaan dan kepeduliannya serta konsisten membela nilai-nila ideal. Melalui musik, mereka membuat kesaksian, kritis, bahkan memberontak.

Bagi nama-nama seperti; Iwan Fals, Harry Roesli (alm.), dan W.S. Rendra bersama Kantata, musik bukan saja sarana untuk menghibur tetapi juga alat perjuangan.

Kini, kepekaan dan tanggung jawab sosial itu terasa semakin menyusut kalau tidak disebut langka. Insan-insan musik terjerat rumus industri: apa pun itu, yang penting laku! Peran seni pun tereduksi, semakin pragmatis dan artifisial.

Pragmatisme itu pula yang menyebabkan karya-karya musik di tahun 2005 terasa monoton, langka eksperimen, langka kejutan. Seolah-olah, lirik yang laku melulu lirik yang berkisah soal romantika cinta dua manusia. Seakan-akan, musik yang akan diterima pasar sekadar musik mendayu-dayu atau cocok dengan selera Melayu. Tak berlebihan jika dikatakan, karya musik yang beredar sepanjang 2005 sesungguhnya mengalami penurunan mutu, kendati dari sisi penjualan terjadi peningkatan.

Di tahun-tahun mendatang, sungguh indah jika insan musik kita kembali menunjukkan kepekaan serta independensi mereka dalam berkarya. Lepas dari jerat industri serta mampu mengasah indra dan jiwa dalam berinteraksi dengan persoalan Indonesia dan dunia pada umumnya.

Sejatinya, musik dalam keseluruhan fungsinya, bukanlah alat untuk membuat penikmatnya terlena. Musik justru merupakan sarana untuk memberikan pencerahan, untuk memperjuangkan keadilan serta senantiasa peduli pada penderitaan sesama dan keberlanjutan alam. (Ukon Ahmad Furkon) ***

Labels:

| Baca Selengkapnya |

Seputar Ukonisme

Komentar Terbaru

Arsip Bulanan

Sejak Februari 2007

Web Site Hit Counters

netter sedang online