Taksi Kota Bandung Jangan "Pundung"!
Oleh UKON AHMAD FURKON
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/17/Jabar/1294.htm
Dalam eksistensi sebuah kota, taksi dibutuhkan sebagai pilihan sarana angkutan umum yang menawarkan privasi, fleksibilitas, dan kenyamanan yang lebih tinggi. Bahkan, bagi pengunjung dari luar kota, yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, jasa taksi yang tidak terikat trayek menjadi pilihan praktis. Selain melayani warga, taksi juga menjadi artifak awal yang mengenalkan pengunjung pada karakteristik dan identitas sebuah kota. Taksi menjadi salah satu potret bagaimana sebuah kota melayani warganya.
Bandung sebagai kota yang makin mengedepankan jasa, sewajarnya didukung dengan layanan taksi yang prima. Sayangnya, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Sudah sejak lama taksi di Kota Bandung dikenal dengan layanannya yang tidak memuaskan. Surat pembaca berjudul Taksi Bikin Jera (Kompas Jabar, 21/3) menambah daftar panjang ungkapan ketidakpuasan tersebut, selain ungkapan ketidakpuasan lainnya yang sudah lama disampaikan, baik terbuka maupun tidak.
Tanpa argometer
Berdasarkan riset persepsi penumpang yang dilakukan tim Studi Pembangunan (SP) ITB (2005) di mana penulis menjadi salah satu anggotanya, ketidakpuasan konsumen atas layanan taksi di Kota Bandung terutama terkait dengan dua hal.
Pertama, hampir semua taksi di Kota Bandung tidak mau menggunakan argometer. Sistem borongan yang dipaksakan pengemudi telah menyebabkan posisi konsumen menjadi sangat lemah, dan berada dalam ketidakpastian.
Kedua, banyaknya kondisi taksi yang sudah tidak nyaman, bahkan tidak layak jalan.
Untuk memperbaiki layanan taksi, sesungguhnya gubernur Jawa Barat telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 551.23/2989/Sarek, tanggal 29 Agustus 2005. Melalui SK tersebut, taksi di Kota Bandung diharuskan menggunakan argometer sesuai tarif yang telah ditentukan dan ditera ulang instansi berwenang. Syarat kenyamanan pun ditetapkan. Perusahaan harus mengoperasikan armada taksi yang laik jalan dengan usia maksimal tujuh tahun, bersih, dan terpelihara. Selain itu, taksi juga harus dilengkapi fasilitas pendukung seperti AC, radio komunikasi, lampu tanda bahaya, dan sabuk keselamatan. Namun, hingga kini SK yang sudah hampir satu tahun dikeluarkan hanya seperti angin lalu, dan sangat minim terimplementasikan.
Sukses keberadaan suatu produk di masyarakat sangat ditentukan oleh interaksi, negosiasi, dan renegosiasi, serta feed back loops yang terus berlangsung sepanjang proses (Pedju : 2003). Keengganan pengemudi dan pengusaha taksi untuk menggunakan argometer dan meningkatkan layanan sesungguhnya menjadi bumerang, karena taksi kemudian menjadi angkutan umum yang tidak populer. Konsumen hanya menggunakan taksi pada kondisi yang sangat terpaksa, dan disertai dengan perasaaan dongkol dan kecewa.
Solusi Konsumen
Taksi di Kota Bandung sesungguhnya telah menempatkan diri secara fair (adil). Berdasarkan hasil riset SP-ITB, konsumen taksi di Kota Bandung sangat terbuka untuk menggunakan taksi dari perusahaan mana pun selama hak mereka terwadahi. Oleh karena itu, untuk menyehatkan iklim usaha taksi di Kota Bandung, resepnya sangat sederhana.
Bagi pengemudi dan pengusaha taksi, tidak ada pilihan lain selain melakukan reformasi diri. Penggunaan argometer telah menjadi kebutuhan mutlak. Tuntutan ini tidak membutuhkan banyak upaya karena sebagian besar taksi di Kota Bandung sudah dilengkapi fasilitas argometer, hanya saja tidak difungsikan. Selanjutnya adalah peningkatan kualitas layanan. Selebihnya, ikuti saja apa yang sudah ditetapkan dalam SK Gubernur Jabar.
Positif
Dalam konteks pelayanan ini, taksi Blue Bird yang hadir secara legal sejak November 2005 dan konsisten menggunakan argometer seharusnya tidak perlu disikapi dengan "pundung" (kecewa), apalagi anarki. Kehadiran Blue Bird semestinya ditanggapi secara positif oleh taksi lain. Munculnya "pemain" baru dalam usaha jasa taksi seharusnya menjadi pendorong untuk berkompetisi secara sehat, yakni dengan meningkatkan kualitas layanan.
Dalam konteks ini pula, keputusan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung untuk membatasi armada Blue Bird dari 200 menjadi 100 akibat dari desakan pengunjuk rasa pengemudi taksi non-Blue Bird merupakan langkah mundur. Ini berita buruk bagi konsumen taksi Kota Bandung. Kenyataan ini menunjukkan tidak adanya pembelaan terhadap hak konsumen. Penertiban Di lain pihak, pemkot dituntut menegakkan SK Gubernur secara tegas dan konsisten untuk lebih menyehatkan iklim usaha taksi.
Pemkot juga dituntut untuk menertibkan taksi-taksi gelap, yang hingga saat ini ditengarai masih banyak beroperasi, seperti di daerah alun-alun dan stasiun kereta api. Penertiban harus pula dilakukan terhadap pungutan-pungutan liar yang masih terjadi.
Dengan langkah-langkah di atas, layanan taksi di Kota Bandung diharapkan menjadi lebih baik dan bergairah. Masyarakat pun tak akan ragu-ragu lagi menggunakan jasa taksi karena mereka mendapatkan haknya sebagai konsumen sesuai dengan besarnya ongkos yang dibayarkan. Artinya, ini memperluas pasar dan meningkatkan permintaan. Pada akhirnya, semua pihak, termasuk pengemudi dan pengusaha taksi akan menikmati manfaatnya.
UKON AHMAD FURKON Mahasiswa Pascasarjana Studi Pembangunan ITB
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/17/Jabar/1294.htm
Dalam eksistensi sebuah kota, taksi dibutuhkan sebagai pilihan sarana angkutan umum yang menawarkan privasi, fleksibilitas, dan kenyamanan yang lebih tinggi. Bahkan, bagi pengunjung dari luar kota, yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, jasa taksi yang tidak terikat trayek menjadi pilihan praktis. Selain melayani warga, taksi juga menjadi artifak awal yang mengenalkan pengunjung pada karakteristik dan identitas sebuah kota. Taksi menjadi salah satu potret bagaimana sebuah kota melayani warganya.
Bandung sebagai kota yang makin mengedepankan jasa, sewajarnya didukung dengan layanan taksi yang prima. Sayangnya, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Sudah sejak lama taksi di Kota Bandung dikenal dengan layanannya yang tidak memuaskan. Surat pembaca berjudul Taksi Bikin Jera (Kompas Jabar, 21/3) menambah daftar panjang ungkapan ketidakpuasan tersebut, selain ungkapan ketidakpuasan lainnya yang sudah lama disampaikan, baik terbuka maupun tidak.
Tanpa argometer
Berdasarkan riset persepsi penumpang yang dilakukan tim Studi Pembangunan (SP) ITB (2005) di mana penulis menjadi salah satu anggotanya, ketidakpuasan konsumen atas layanan taksi di Kota Bandung terutama terkait dengan dua hal.
Pertama, hampir semua taksi di Kota Bandung tidak mau menggunakan argometer. Sistem borongan yang dipaksakan pengemudi telah menyebabkan posisi konsumen menjadi sangat lemah, dan berada dalam ketidakpastian.
Kedua, banyaknya kondisi taksi yang sudah tidak nyaman, bahkan tidak layak jalan.
Untuk memperbaiki layanan taksi, sesungguhnya gubernur Jawa Barat telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 551.23/2989/Sarek, tanggal 29 Agustus 2005. Melalui SK tersebut, taksi di Kota Bandung diharuskan menggunakan argometer sesuai tarif yang telah ditentukan dan ditera ulang instansi berwenang. Syarat kenyamanan pun ditetapkan. Perusahaan harus mengoperasikan armada taksi yang laik jalan dengan usia maksimal tujuh tahun, bersih, dan terpelihara. Selain itu, taksi juga harus dilengkapi fasilitas pendukung seperti AC, radio komunikasi, lampu tanda bahaya, dan sabuk keselamatan. Namun, hingga kini SK yang sudah hampir satu tahun dikeluarkan hanya seperti angin lalu, dan sangat minim terimplementasikan.
Sukses keberadaan suatu produk di masyarakat sangat ditentukan oleh interaksi, negosiasi, dan renegosiasi, serta feed back loops yang terus berlangsung sepanjang proses (Pedju : 2003). Keengganan pengemudi dan pengusaha taksi untuk menggunakan argometer dan meningkatkan layanan sesungguhnya menjadi bumerang, karena taksi kemudian menjadi angkutan umum yang tidak populer. Konsumen hanya menggunakan taksi pada kondisi yang sangat terpaksa, dan disertai dengan perasaaan dongkol dan kecewa.
Solusi Konsumen
Taksi di Kota Bandung sesungguhnya telah menempatkan diri secara fair (adil). Berdasarkan hasil riset SP-ITB, konsumen taksi di Kota Bandung sangat terbuka untuk menggunakan taksi dari perusahaan mana pun selama hak mereka terwadahi. Oleh karena itu, untuk menyehatkan iklim usaha taksi di Kota Bandung, resepnya sangat sederhana.
Bagi pengemudi dan pengusaha taksi, tidak ada pilihan lain selain melakukan reformasi diri. Penggunaan argometer telah menjadi kebutuhan mutlak. Tuntutan ini tidak membutuhkan banyak upaya karena sebagian besar taksi di Kota Bandung sudah dilengkapi fasilitas argometer, hanya saja tidak difungsikan. Selanjutnya adalah peningkatan kualitas layanan. Selebihnya, ikuti saja apa yang sudah ditetapkan dalam SK Gubernur Jabar.
Positif
Dalam konteks pelayanan ini, taksi Blue Bird yang hadir secara legal sejak November 2005 dan konsisten menggunakan argometer seharusnya tidak perlu disikapi dengan "pundung" (kecewa), apalagi anarki. Kehadiran Blue Bird semestinya ditanggapi secara positif oleh taksi lain. Munculnya "pemain" baru dalam usaha jasa taksi seharusnya menjadi pendorong untuk berkompetisi secara sehat, yakni dengan meningkatkan kualitas layanan.
Dalam konteks ini pula, keputusan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung untuk membatasi armada Blue Bird dari 200 menjadi 100 akibat dari desakan pengunjuk rasa pengemudi taksi non-Blue Bird merupakan langkah mundur. Ini berita buruk bagi konsumen taksi Kota Bandung. Kenyataan ini menunjukkan tidak adanya pembelaan terhadap hak konsumen. Penertiban Di lain pihak, pemkot dituntut menegakkan SK Gubernur secara tegas dan konsisten untuk lebih menyehatkan iklim usaha taksi.
Pemkot juga dituntut untuk menertibkan taksi-taksi gelap, yang hingga saat ini ditengarai masih banyak beroperasi, seperti di daerah alun-alun dan stasiun kereta api. Penertiban harus pula dilakukan terhadap pungutan-pungutan liar yang masih terjadi.
Dengan langkah-langkah di atas, layanan taksi di Kota Bandung diharapkan menjadi lebih baik dan bergairah. Masyarakat pun tak akan ragu-ragu lagi menggunakan jasa taksi karena mereka mendapatkan haknya sebagai konsumen sesuai dengan besarnya ongkos yang dibayarkan. Artinya, ini memperluas pasar dan meningkatkan permintaan. Pada akhirnya, semua pihak, termasuk pengemudi dan pengusaha taksi akan menikmati manfaatnya.
UKON AHMAD FURKON Mahasiswa Pascasarjana Studi Pembangunan ITB
Labels: Opini dan Resensi
| Baca Selengkapnya |