Gerakan Hemat Listrik yang Tepat
Oleh UKON AHMAD FURKON
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/27/0801.htm
Siapa yang mengambil dunia dari batas kecukupannya, tanpa terasa ia telah merenggut ajal kematiannya (H.R. Al-Bazzar)
Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Listrik Nasional (HLN). Hingga peringatan HLN ke-60 tahun ini, keberadaan ketenagalistrikan di tanah air telah memberikan manfaat yang sangat besar dalam ikut memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta meningkatkan perekonomian.
Kendati demikian, disadari masih terdapat berbagai permasalahan dan kendala terkait dengan ketenagalistrikan ini. Salah satu dari permasalahan itu adalah belum meratanya penyebaran listrik ke seluruh pelosok tanah air. Hingga saat ini, sekira 45% penduduk Indonesia belum menikmati listrik. Tak hanya itu, pemanfaatan energi listrik pun masih sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Berdasarkan data PLN, pada 2002 konsumsi listrik di Pulau Jawa dan Bali mencapai 83,6 TWh atau sekitar 80% dari total konsumsi Indonesia.
Di tengah masih banyaknya masyarakat yang belum menikmati listrik, suatu fakta yang ironis bahwa sebagian masyarakat yang lain belum menunjukkan kepedulian yang maksimal akan arti penting listrik dan arti penting menjaga keberlanjutan pasokannya. Salah satu di antaranya tercermin dari sikap hidup boros dalam menggunakan energi listrik. Ketidakefisienan ini pula yang antara lain ikut mendorong terjadinya padam listrik sebagaimana terjadi pada peristiwa September black out pada tahun 2002 yang menimpa Jawa-Bali. Kejadian yang hampir sama terulang pada 18 Agustus 2005 lalu.
Disadari atau tidak, Indonesia merupakan negara yang sangat boros dalam mengonsumsi energi, termasuk energi listrik. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari dua indikator, yakni intensitas dan elastisitas energi. Intensitas energi adalah perbandingan antara jumlah konsumsi energi dengan produk domestik bruto (PDB), sedangkan elastisitas energi adalah perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, semakin kecil angka intensitas dan elastisitas energi suatu negara maka semakin efisien pula penggunaan energi di negara yang bersangkutan.
Berdasarkan data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 2005, elastisitas energi di Indonesia mencapai angka 400 atau empat kali lebih besar dibanding Jepang. Angka ini juga masih lebih boros dibanding negara-negara Amerika Utara yang mencapai angka 300. Sementara itu, berdasarkan data Lembaga Konservasi Energi Nasional (2004), elastisitas energi Indonesia berkisar antara 1,04-1,35 dalam kurun waktu 1985-2000. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding dengan negara-negara maju yang pada kurun yang sama angka elastisitasnya rata-rata hanya mencapai 0,55-0,65.
Seiring dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi yang mulai berlaku sejak 10 Juli 2005, perlu dibangkitkan kesadaran masyarakat tentang arti penting hemat energi, termasuk energi listrik. Dalam upaya menggugah kesadaran tersebut, kegiatan sosialisasi atau kampanye hemat energi memegang peranan penting. Kampanye dimaksud sejauh ini sesungguhnya telah cukup banyak dilakukan. Namun, dari ragam kampanye yang telah dilakukan, penulis mencatat adanya beberapa penekanan yang perlu dibenahi dengan harapan agar pelaksanaan gerakan hemat listrik nasional menjadi lebih holistik sehingga lebih menggugah kesadaran serta lebih tepat sasaran.
Hal-hal yang perlu dibenahi tersebut, pertama, kesan bahwa hemat listrik selolah-olah hanya berguna untuk menghemat biaya (jumlah rekening yang harus dibayar). Kedua, kampanye hemat listrik cenderung ditujukan kepada pelanggan rumah tangga. Ketiga, upaya menghemat listrik seolah-olah hanya dapat dilakukan dengan mematikan alat-alat bertenaga listrik yang tidak diperlukan. Bukan hanya menghemat biaya dalam kampanye hemat listrik yang dilakukan selama ini, pemahaman tentang manfaat dari hemat listik nampak lebih ditekankan pada menghemat pengeluaran (rekening yang harus dibayar). Maka keluarlah slogan "Hemat Listrik Hemat Biaya" dengan segala derivasinya.
Apabila kita analisis pola konsumsi dan struktur pelanggan yang ada, penekanan kampanye hemat listrik hanya pada penghematan biaya tampaknya kurang pas, paling tidak masih sangat parsial. Lagipula, menghemat penggunaan listrik akan menghemat tagihan rekening, merupakan sesuatu yang sangat alamiah dan tak terbantahkan sehingga tanpa sosialisasi yang gencar pun masyarakat akan memahami konsep tersebut dengan sendirinya. Berhemat, umumnya terjadi dengan sendirinya pada pelanggan rumah tangga golongan masyarakat bawah. Dengan pendapatan yang pas-pasan atau budget constraint yang sangat ketat, mereka telah terbiasa untuk menggunakan listrik seefisien mungkin.
Pada masyarakat bawah, intensitas penggunaan listrik pun umumnya terbatas pada penggunaan-penggunaan dasar, khususnya untuk penerangan dan alat elektronik dasar dengan daya (watt) yang kecil. Oleh karena itu, diperlukan penyadaran yang lebih intensif dan lebih dapat menyentuh masyarakat golongan menengah ke atas untuk berpartisipasi lebih aktif dalam melakukan penghematan listrik. Pada golongan masyarakat ini, sekadar isu hemat biaya menjadi kurang mengena, karena dengan pendapatan yang memadai, bukan suatu masalah besar jika mereka harus membayar rekening listrik cukup besar.
Seperti diketahui, energi listrik berasal dari pembangkit listrik. Di seluruh Indonesia, jumlah daya yang dibangkitkan PLN dengan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) mencapai 34 juta mWh, batu bara 30,6 MWh, gas alam 20 juta mWh, panas bumi 3 juta mWh, dan hydro 9,1 juta mWh. Dari data tersebut, tampak bahwa persentase tenaga listrik yang dibangkitkan dari energi tak terbarukan, khususnya BBM, masih sangat besar. Oleh karena itu, efisiensi penggunaan listrik merupakan kebutuhan yang tak bisa ditawar demi ketahanan energi nasional serta memberikan kesempatan kepada generasi mendatang untuk tetap dapat menikmati listrik.
Dalam konteks keluarga, perlu pula dibangkitkan kesadaran bahwa hemat listrik merupakan salah satu bentuk perilaku sejahtera sehingga menjadi bagian dari upaya membangun keluarga yang sejahtera. Perlu ditanamkan kesadaran untuk menjalani hidup secara terfokus pada hal-hal yang benar-benar berarti dan membebaskan diri dari segala belenggu keinginan yang tak ada batasnya. Industri dan bisnis sampai tahun 2004, data PLN menunjukkan bahwa dari total 33,2 juta pelanggan PLN di seluruh Indonesia, 31 juta (93%) di antaranya merupakan kelompok rumah tangga. Selanjutnya diikuti sektor bisnis sebesar 1,4 juta pelanggan (4%), kelompok sosial sebesar 691 juta (2%), kelompok perkantoran sebesar 160,5 ribu (0,48%), dan kelompok industri sebesar 46,3 ribu (0,14%).
Uniknya, kendati pelanggan PLN dari sektor industri, perkantoran, dan bisnis sangat kecil, konsumsinya justru sangat besar. Sebagai contoh, sekitar 60% pasokan listrik di Jawa dan Bali digunakan oleh sektor industri. Seiring dengan kenaikan harga BBM, penggunaan listrik PLN di sektor tersebut diperkirakan akan semakin meningkat. Industri dan bisnis yang semula menggunakan generator sendiri, banyak yang beralih menggunakan listrik PLN karena operasional generator sudah tidak ekonomis lagi akibat kenaikan harga BBM. Implikasi dari kenyataan di atas, kampanye hemat listrik kepada sektor industri, bisnis, dan juga perkantoran menjadi sangat penting.
Bukan hanya "mematikan yang tidak perlu"
Dari kampanye hemat listrik yang dilakukan selama ini, terekam kesan bahwa menghemat listrik hanya dapat dilakukan secara konvensional yakni dengan mematikan peralatan eletronik yang tidak diperlukan. Maka yang diimbau adalah mematikan televisi yang sudah tidak ditonton, mematikan lampu yang tidak digunakan, dan lain-lain. Menghemat listrik secara konvensional tentu saja benar, namun bukan satu-satunya cara. Perlu diberikan pengetahuan yang lebih komprehensif kepada masyarakat bahwa terdapat berbagai langkah lain yang bisa dilakukan untuk menghemat listrik melalui pendekatan teknis dan teknologi.
Langkah-langkah tersebut antara lain sebagai berikut: Pertama, menggunakan peralatan listrik yang lebih kecil dayanya, karena untuk satu alat yang sama, biasanya terdapat beragam produk dengan beragam daya listriknya. Dengan demikian, saat akan membeli suatu alat elektronik, konsumen diimbau untuk tidak hanya melakukan komparasi dari sisi harga dan merek peralatan tersebut, tetapi juga dari wattnya. Kedua, menggunakan alat khusus penghemat listrik yang telah resmi dan disahkan pemerintah. Sekarang alat seperti itu sudah banyak tersedia di pasaran dengan harga yang cukup terjangkau dan penggunaan yang praktis. Ketiga, bagi masyarakat yang tengah membangun rumah, perkantoran, dan bangunan lainnya, dapat memberikan andil menghemat energi listrik dengan mendesain bagunan menjadi bangunan yang hemat energi.
Desain yang hemat energi antara lain memungkinkan cahaya dari luar masuk ke dalam bangunan sehingga kebutuhan penerangan di dalam bangunan tidak bergantung pada listrik. Bangunan yang hemat energi juga memiliki ventilasi yang memadai yang memungkinkan udara bebas keluar masuk secara wajar sehingga untuk mendapatkan udara segar, ruang-ruang dalam bangunan tidak bergantung pada AC (pendingin ruangan).
Kinerja PLN
Pada akhirnya, apabila masyarakat dituntut untuk melakukan gerakan hemat energi serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan ilegal seperti pencurian listrik, tentunya PLN juga harus melakukan pembenahan internal sehingga pelaksanaan bisnis listrik di tanah air menjadi lebih profesional dan efisien. PLN harus lebih mampu menekan susut (losses) yang hingga tahun 2004 angkanya masih cukup besar yakni mencapai 11,3%. PLN juga harus lebih dapat memastikan tidak terjadinya kemungkinan-kemungkinan penyelewengan, baik penyelewengan kekuasaan maupun penyelewengan keuangan.
Selain itu, PLN dituntut untuk dapat melakukan diversifikasi energi dalam penyediaan tenaga listrik, khususnya untuk energi terbarukan seperti tenaga air, angin, surya, panas bumi, dan biomas. PLN harus pula memiliki satu unit yang benar-benar profesional dan berdedikasi tinggi untuk menampung keluhan-keluhan maupun saran yang disampaikan masyarakat. Keluhan-keluhan dan saran tersebut diinventarisasi secara tertib untuk kemudian diberikan tindak lanjut atau penyelesaian secara cepat dan tepat, serta dianalisis lebih lanjut untuk dijadikan dasar pembuatan kebijakan untuk perbaikan layanan.
Selamat Hari Listrik Nasional yang ke-60! ***
Penulis, Mahasiswa pascasarjana Studi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung (ITB).
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/27/0801.htm
Siapa yang mengambil dunia dari batas kecukupannya, tanpa terasa ia telah merenggut ajal kematiannya (H.R. Al-Bazzar)
Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Listrik Nasional (HLN). Hingga peringatan HLN ke-60 tahun ini, keberadaan ketenagalistrikan di tanah air telah memberikan manfaat yang sangat besar dalam ikut memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta meningkatkan perekonomian.
Kendati demikian, disadari masih terdapat berbagai permasalahan dan kendala terkait dengan ketenagalistrikan ini. Salah satu dari permasalahan itu adalah belum meratanya penyebaran listrik ke seluruh pelosok tanah air. Hingga saat ini, sekira 45% penduduk Indonesia belum menikmati listrik. Tak hanya itu, pemanfaatan energi listrik pun masih sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Berdasarkan data PLN, pada 2002 konsumsi listrik di Pulau Jawa dan Bali mencapai 83,6 TWh atau sekitar 80% dari total konsumsi Indonesia.
Di tengah masih banyaknya masyarakat yang belum menikmati listrik, suatu fakta yang ironis bahwa sebagian masyarakat yang lain belum menunjukkan kepedulian yang maksimal akan arti penting listrik dan arti penting menjaga keberlanjutan pasokannya. Salah satu di antaranya tercermin dari sikap hidup boros dalam menggunakan energi listrik. Ketidakefisienan ini pula yang antara lain ikut mendorong terjadinya padam listrik sebagaimana terjadi pada peristiwa September black out pada tahun 2002 yang menimpa Jawa-Bali. Kejadian yang hampir sama terulang pada 18 Agustus 2005 lalu.
Disadari atau tidak, Indonesia merupakan negara yang sangat boros dalam mengonsumsi energi, termasuk energi listrik. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari dua indikator, yakni intensitas dan elastisitas energi. Intensitas energi adalah perbandingan antara jumlah konsumsi energi dengan produk domestik bruto (PDB), sedangkan elastisitas energi adalah perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, semakin kecil angka intensitas dan elastisitas energi suatu negara maka semakin efisien pula penggunaan energi di negara yang bersangkutan.
Berdasarkan data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 2005, elastisitas energi di Indonesia mencapai angka 400 atau empat kali lebih besar dibanding Jepang. Angka ini juga masih lebih boros dibanding negara-negara Amerika Utara yang mencapai angka 300. Sementara itu, berdasarkan data Lembaga Konservasi Energi Nasional (2004), elastisitas energi Indonesia berkisar antara 1,04-1,35 dalam kurun waktu 1985-2000. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding dengan negara-negara maju yang pada kurun yang sama angka elastisitasnya rata-rata hanya mencapai 0,55-0,65.
Seiring dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi yang mulai berlaku sejak 10 Juli 2005, perlu dibangkitkan kesadaran masyarakat tentang arti penting hemat energi, termasuk energi listrik. Dalam upaya menggugah kesadaran tersebut, kegiatan sosialisasi atau kampanye hemat energi memegang peranan penting. Kampanye dimaksud sejauh ini sesungguhnya telah cukup banyak dilakukan. Namun, dari ragam kampanye yang telah dilakukan, penulis mencatat adanya beberapa penekanan yang perlu dibenahi dengan harapan agar pelaksanaan gerakan hemat listrik nasional menjadi lebih holistik sehingga lebih menggugah kesadaran serta lebih tepat sasaran.
Hal-hal yang perlu dibenahi tersebut, pertama, kesan bahwa hemat listrik selolah-olah hanya berguna untuk menghemat biaya (jumlah rekening yang harus dibayar). Kedua, kampanye hemat listrik cenderung ditujukan kepada pelanggan rumah tangga. Ketiga, upaya menghemat listrik seolah-olah hanya dapat dilakukan dengan mematikan alat-alat bertenaga listrik yang tidak diperlukan. Bukan hanya menghemat biaya dalam kampanye hemat listrik yang dilakukan selama ini, pemahaman tentang manfaat dari hemat listik nampak lebih ditekankan pada menghemat pengeluaran (rekening yang harus dibayar). Maka keluarlah slogan "Hemat Listrik Hemat Biaya" dengan segala derivasinya.
Apabila kita analisis pola konsumsi dan struktur pelanggan yang ada, penekanan kampanye hemat listrik hanya pada penghematan biaya tampaknya kurang pas, paling tidak masih sangat parsial. Lagipula, menghemat penggunaan listrik akan menghemat tagihan rekening, merupakan sesuatu yang sangat alamiah dan tak terbantahkan sehingga tanpa sosialisasi yang gencar pun masyarakat akan memahami konsep tersebut dengan sendirinya. Berhemat, umumnya terjadi dengan sendirinya pada pelanggan rumah tangga golongan masyarakat bawah. Dengan pendapatan yang pas-pasan atau budget constraint yang sangat ketat, mereka telah terbiasa untuk menggunakan listrik seefisien mungkin.
Pada masyarakat bawah, intensitas penggunaan listrik pun umumnya terbatas pada penggunaan-penggunaan dasar, khususnya untuk penerangan dan alat elektronik dasar dengan daya (watt) yang kecil. Oleh karena itu, diperlukan penyadaran yang lebih intensif dan lebih dapat menyentuh masyarakat golongan menengah ke atas untuk berpartisipasi lebih aktif dalam melakukan penghematan listrik. Pada golongan masyarakat ini, sekadar isu hemat biaya menjadi kurang mengena, karena dengan pendapatan yang memadai, bukan suatu masalah besar jika mereka harus membayar rekening listrik cukup besar.
Seperti diketahui, energi listrik berasal dari pembangkit listrik. Di seluruh Indonesia, jumlah daya yang dibangkitkan PLN dengan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) mencapai 34 juta mWh, batu bara 30,6 MWh, gas alam 20 juta mWh, panas bumi 3 juta mWh, dan hydro 9,1 juta mWh. Dari data tersebut, tampak bahwa persentase tenaga listrik yang dibangkitkan dari energi tak terbarukan, khususnya BBM, masih sangat besar. Oleh karena itu, efisiensi penggunaan listrik merupakan kebutuhan yang tak bisa ditawar demi ketahanan energi nasional serta memberikan kesempatan kepada generasi mendatang untuk tetap dapat menikmati listrik.
Dalam konteks keluarga, perlu pula dibangkitkan kesadaran bahwa hemat listrik merupakan salah satu bentuk perilaku sejahtera sehingga menjadi bagian dari upaya membangun keluarga yang sejahtera. Perlu ditanamkan kesadaran untuk menjalani hidup secara terfokus pada hal-hal yang benar-benar berarti dan membebaskan diri dari segala belenggu keinginan yang tak ada batasnya. Industri dan bisnis sampai tahun 2004, data PLN menunjukkan bahwa dari total 33,2 juta pelanggan PLN di seluruh Indonesia, 31 juta (93%) di antaranya merupakan kelompok rumah tangga. Selanjutnya diikuti sektor bisnis sebesar 1,4 juta pelanggan (4%), kelompok sosial sebesar 691 juta (2%), kelompok perkantoran sebesar 160,5 ribu (0,48%), dan kelompok industri sebesar 46,3 ribu (0,14%).
Uniknya, kendati pelanggan PLN dari sektor industri, perkantoran, dan bisnis sangat kecil, konsumsinya justru sangat besar. Sebagai contoh, sekitar 60% pasokan listrik di Jawa dan Bali digunakan oleh sektor industri. Seiring dengan kenaikan harga BBM, penggunaan listrik PLN di sektor tersebut diperkirakan akan semakin meningkat. Industri dan bisnis yang semula menggunakan generator sendiri, banyak yang beralih menggunakan listrik PLN karena operasional generator sudah tidak ekonomis lagi akibat kenaikan harga BBM. Implikasi dari kenyataan di atas, kampanye hemat listrik kepada sektor industri, bisnis, dan juga perkantoran menjadi sangat penting.
Bukan hanya "mematikan yang tidak perlu"
Dari kampanye hemat listrik yang dilakukan selama ini, terekam kesan bahwa menghemat listrik hanya dapat dilakukan secara konvensional yakni dengan mematikan peralatan eletronik yang tidak diperlukan. Maka yang diimbau adalah mematikan televisi yang sudah tidak ditonton, mematikan lampu yang tidak digunakan, dan lain-lain. Menghemat listrik secara konvensional tentu saja benar, namun bukan satu-satunya cara. Perlu diberikan pengetahuan yang lebih komprehensif kepada masyarakat bahwa terdapat berbagai langkah lain yang bisa dilakukan untuk menghemat listrik melalui pendekatan teknis dan teknologi.
Langkah-langkah tersebut antara lain sebagai berikut: Pertama, menggunakan peralatan listrik yang lebih kecil dayanya, karena untuk satu alat yang sama, biasanya terdapat beragam produk dengan beragam daya listriknya. Dengan demikian, saat akan membeli suatu alat elektronik, konsumen diimbau untuk tidak hanya melakukan komparasi dari sisi harga dan merek peralatan tersebut, tetapi juga dari wattnya. Kedua, menggunakan alat khusus penghemat listrik yang telah resmi dan disahkan pemerintah. Sekarang alat seperti itu sudah banyak tersedia di pasaran dengan harga yang cukup terjangkau dan penggunaan yang praktis. Ketiga, bagi masyarakat yang tengah membangun rumah, perkantoran, dan bangunan lainnya, dapat memberikan andil menghemat energi listrik dengan mendesain bagunan menjadi bangunan yang hemat energi.
Desain yang hemat energi antara lain memungkinkan cahaya dari luar masuk ke dalam bangunan sehingga kebutuhan penerangan di dalam bangunan tidak bergantung pada listrik. Bangunan yang hemat energi juga memiliki ventilasi yang memadai yang memungkinkan udara bebas keluar masuk secara wajar sehingga untuk mendapatkan udara segar, ruang-ruang dalam bangunan tidak bergantung pada AC (pendingin ruangan).
Kinerja PLN
Pada akhirnya, apabila masyarakat dituntut untuk melakukan gerakan hemat energi serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan ilegal seperti pencurian listrik, tentunya PLN juga harus melakukan pembenahan internal sehingga pelaksanaan bisnis listrik di tanah air menjadi lebih profesional dan efisien. PLN harus lebih mampu menekan susut (losses) yang hingga tahun 2004 angkanya masih cukup besar yakni mencapai 11,3%. PLN juga harus lebih dapat memastikan tidak terjadinya kemungkinan-kemungkinan penyelewengan, baik penyelewengan kekuasaan maupun penyelewengan keuangan.
Selain itu, PLN dituntut untuk dapat melakukan diversifikasi energi dalam penyediaan tenaga listrik, khususnya untuk energi terbarukan seperti tenaga air, angin, surya, panas bumi, dan biomas. PLN harus pula memiliki satu unit yang benar-benar profesional dan berdedikasi tinggi untuk menampung keluhan-keluhan maupun saran yang disampaikan masyarakat. Keluhan-keluhan dan saran tersebut diinventarisasi secara tertib untuk kemudian diberikan tindak lanjut atau penyelesaian secara cepat dan tepat, serta dianalisis lebih lanjut untuk dijadikan dasar pembuatan kebijakan untuk perbaikan layanan.
Selamat Hari Listrik Nasional yang ke-60! ***
Penulis, Mahasiswa pascasarjana Studi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Labels: Opini dan Resensi
| Baca Selengkapnya |