Peterpan dan The Titans: Persaingan atau Meragamkan Pilihan?
Oleh UKON AHMAD FURKON
Link di Pikiran Rakyat
PETERPAN dan The Titans merilis album hampir beriringan. Konser mereka pun sempat digelar di malam yang sama di tempat yang berdekatan pula. Fenomena ini menjadi menarik mengingat sebagian personel The Titans adalah mantan anggota Peterpan. Adakah genderang persaingan beraroma "perselisihan" masa silam tengah ditabuh dua grup band asal Bandung itu?
Sejak Andika Naliputra Wirahardja (keyboard) dan Indra (bas) tak lagi menjadi anggota pada November 2006, Peterpan sempat menghilang dari belantika musik tanah air. Rupanya personel yang tersisa, Ariel (vokal), Mohammad Kautsar Hikmat alias Uki (gitar), Ilsyah Ryan Reza (drum), dan Loekman Hakim (gitar), tengah menggodok album baru. Album tersebut akhirnya dirilis akhir Mei lalu dan diberi label "Hari yang Cerah".
Di album ini, Peterpan melakukan penjelajahan musikalitas yang cukup intens sehingga menghasilkan sound yang kaya. Sebuah upaya cemerlang, kendati bagi sebagian penikmat musik bisa terkesan "berat". Demikian pula dengan Ariel yang lebih berani mengeksplorasi vokal, termasuk bermain-main dengan falsetto.
Sayangnya, keseriusan Peterpan dalam menggarap musik dan vokal tidak dikemas dengan sampul album yang seimbang. Sajian sampulnya seperti dibuat oleh orang yang baru belajar Photoshop, bahkan sekilas mirip sampul album baru Linkin Park, "Minutes to Midnight" dalam versi gagal. Sebuah pilihan tak matang untuk band sekelas Peterpan. Dari sisi lirik, nuansa dark terasa begitu kental, menjadi antitesis dari label albumnya.
Tema yang diusung bercerita soal rasa sepi, kesendirian, kekecewaan, hingga kisah sang aku yang meninggalkan kekasih seperti pada lagu "Sally Sendiri" dan "Menghapus Jejakmu".
Seiring dengan kiprah Peterpan, Andika dan Indra membentuk The Titans. Selain mereka berdua, The Titans diperkuat oleh vokalis Rizki yang pernah bergabung dengan band alumni Dream Band, Ize pemain drum tomtom (T-Five), gitaris Oni (Five Minutes), dan Imot (sampling, synthetizer, program) yang pernah berkiprah bersama Rock N Roll Mafia (RNRM).
Dengan formasi ini, The Titans meluncurkan album perdana self-titled yang dipasarkan beberapa pekan sebelum album Peterpan.
Berbekal latar belakang personelnya yang beragam, The Titans punya potensi besar untuk menghasilkan komposisi-komposisi yang unik dan segar. Namun, sebagai band baru, tampaknya mereka tidak ingin buru-buru banyak bereksperimen. Terbukti warna pop sangat dominan kendati diperkaya dengan sentuhan programming. Demikian pula dengan liriknya yang masih digarap dengan standar.
Hal lain yang sulit dibantah, The Titans belum mampu melepaskan diri sepenuhnya dari warna Peterpan. Pada masa transisi, keterpengaruhan seperti ini, boleh jadi dapat dimaklumi. Terlebih, sebagai band baru, The Titans belum memiliki daya tawar yang cukup di hadapan visi produser.
Masalah serupa sempat pula dialami musisi lain seperti Pay, Indra Qadarsih, dan Bongky saat membentuk BIP selepas hengkang dari Slank. Namun, di album selanjutnya BIP membuktikan diri mampu menghasilkan warna yang lebih independen. The Titans tentu punya potensi dan peluang untuk melakukan hal yang sama.
Bersaing?
Lantas, kembali ke pertanyaan awal, apakah kehadiran Peterpan dan The Titans dalam waktu yang hampir bersamaan mengindikasikan adanya keinginan saling mengalahkan di antara keduanya? Apakah benar dalam industri musik ada istilah persaingan?
Sejatinya, keberadaan para musisi di industri musik tidak seperti atlet di dalam sebuah pertandingan olah raga. Dalam pertandingan olah raga, kompetisi adalah sebuah keniscayaan yang kemudian menghasilkan pihak yang kalah dan pihak yang menang. Sementara musisi dalam industri musik tentu tidak demikian.
Keberadaan musisi dalam industri musik tidak untuk mengejar kemenangan atau mengalahkan musisi lain. Dalam ruang yang sama, mereka sama-sama berekspresi menyampaikan kreativitas terbaik untuk dapat diapresiasi penikmat musik. Jika kemudian ada di antara karya mereka yang lebih banyak dibeli atau sebaliknya, itu pun bukan tanda kemenangan atau kekalahan. Terlebih, laku tidaknya sebuah karya tak selalu seiring dengan pencapaian musikalitas.
Oleh karena itu, ketika musisi semakin banyak terlahir, ketika grup musik semakin banyak terbentuk, hal itu semestinya menjadi anugerah bagi industri dan publik musik. Tentu jika pertumbuhan tersebut menjadi fondasi bagi bangunan industri yang berkualitas dan kian menawarkan banyak pilihan.
Sayangnya, dengan beberapa pengecualian, soal keberagaman ini justru langka ditemukan dalam industri musik kita. Muka-muka baru tak berhenti dilahirkan, namun karakter-karakter baru susah ditemukan. Mereka kompak mengusung cinta dengan kemasan musik yang tipikal yang dipandang tengah disukai pasar. Kecenderungan ini yang sesungguhnya lebih layak dikhawatirkan dari industri musik kita daripada soal pembajakan yang sekadar terkait dengan hak ekonomi.
Jika orientasinya melulu soal angka penjualan, harapan tentang keberagaman memang susah diwujudkan. Kita patut malu pada Linkin Park, U2, The Cranberries, dan sederet musisi dunia lain yang hidup dalam masyarakat yang mapan namun tak menghilangkan sensitivitas mereka terhadap lingkungan dan upaya untuk eksis dengan identitas masing-masing.
Dengan demikian, pertanyaan tentang persaingan di tengah kemunculan Peterpan dan The Titans sesungguhnya merupakan wujud reaksi yang tidak tepat, terlebih jika dibumbui dengan gosip dan hal-hal tak kontekstual lainnya.
Pertanyaan yang lebih bermakna untuk dikedepankan, apakah mereka mampu memperkaya khazanah musik Indonesia dengan identitas mereka ataukah sekadar bergerak bersama arus? Apakah mereka mampu menghidangkan karya-karya bergizi, yang enak sekaligus sehat untuk dinikmati, baik bagi musik maupun untuk kehidupan? Pertanyaan-pertanyaan ini tak bisa dijawab dengan identifikasi sesaat. Oleh karena itu, mari berproses dan terus kita saksikan. **
Penulis, pemerhati musik.
Link di Pikiran Rakyat
PETERPAN dan The Titans merilis album hampir beriringan. Konser mereka pun sempat digelar di malam yang sama di tempat yang berdekatan pula. Fenomena ini menjadi menarik mengingat sebagian personel The Titans adalah mantan anggota Peterpan. Adakah genderang persaingan beraroma "perselisihan" masa silam tengah ditabuh dua grup band asal Bandung itu?
Sejak Andika Naliputra Wirahardja (keyboard) dan Indra (bas) tak lagi menjadi anggota pada November 2006, Peterpan sempat menghilang dari belantika musik tanah air. Rupanya personel yang tersisa, Ariel (vokal), Mohammad Kautsar Hikmat alias Uki (gitar), Ilsyah Ryan Reza (drum), dan Loekman Hakim (gitar), tengah menggodok album baru. Album tersebut akhirnya dirilis akhir Mei lalu dan diberi label "Hari yang Cerah".
Di album ini, Peterpan melakukan penjelajahan musikalitas yang cukup intens sehingga menghasilkan sound yang kaya. Sebuah upaya cemerlang, kendati bagi sebagian penikmat musik bisa terkesan "berat". Demikian pula dengan Ariel yang lebih berani mengeksplorasi vokal, termasuk bermain-main dengan falsetto.
Sayangnya, keseriusan Peterpan dalam menggarap musik dan vokal tidak dikemas dengan sampul album yang seimbang. Sajian sampulnya seperti dibuat oleh orang yang baru belajar Photoshop, bahkan sekilas mirip sampul album baru Linkin Park, "Minutes to Midnight" dalam versi gagal. Sebuah pilihan tak matang untuk band sekelas Peterpan. Dari sisi lirik, nuansa dark terasa begitu kental, menjadi antitesis dari label albumnya.
Tema yang diusung bercerita soal rasa sepi, kesendirian, kekecewaan, hingga kisah sang aku yang meninggalkan kekasih seperti pada lagu "Sally Sendiri" dan "Menghapus Jejakmu".
Seiring dengan kiprah Peterpan, Andika dan Indra membentuk The Titans. Selain mereka berdua, The Titans diperkuat oleh vokalis Rizki yang pernah bergabung dengan band alumni Dream Band, Ize pemain drum tomtom (T-Five), gitaris Oni (Five Minutes), dan Imot (sampling, synthetizer, program) yang pernah berkiprah bersama Rock N Roll Mafia (RNRM).
Dengan formasi ini, The Titans meluncurkan album perdana self-titled yang dipasarkan beberapa pekan sebelum album Peterpan.
Berbekal latar belakang personelnya yang beragam, The Titans punya potensi besar untuk menghasilkan komposisi-komposisi yang unik dan segar. Namun, sebagai band baru, tampaknya mereka tidak ingin buru-buru banyak bereksperimen. Terbukti warna pop sangat dominan kendati diperkaya dengan sentuhan programming. Demikian pula dengan liriknya yang masih digarap dengan standar.
Hal lain yang sulit dibantah, The Titans belum mampu melepaskan diri sepenuhnya dari warna Peterpan. Pada masa transisi, keterpengaruhan seperti ini, boleh jadi dapat dimaklumi. Terlebih, sebagai band baru, The Titans belum memiliki daya tawar yang cukup di hadapan visi produser.
Masalah serupa sempat pula dialami musisi lain seperti Pay, Indra Qadarsih, dan Bongky saat membentuk BIP selepas hengkang dari Slank. Namun, di album selanjutnya BIP membuktikan diri mampu menghasilkan warna yang lebih independen. The Titans tentu punya potensi dan peluang untuk melakukan hal yang sama.
Bersaing?
Lantas, kembali ke pertanyaan awal, apakah kehadiran Peterpan dan The Titans dalam waktu yang hampir bersamaan mengindikasikan adanya keinginan saling mengalahkan di antara keduanya? Apakah benar dalam industri musik ada istilah persaingan?
Sejatinya, keberadaan para musisi di industri musik tidak seperti atlet di dalam sebuah pertandingan olah raga. Dalam pertandingan olah raga, kompetisi adalah sebuah keniscayaan yang kemudian menghasilkan pihak yang kalah dan pihak yang menang. Sementara musisi dalam industri musik tentu tidak demikian.
Keberadaan musisi dalam industri musik tidak untuk mengejar kemenangan atau mengalahkan musisi lain. Dalam ruang yang sama, mereka sama-sama berekspresi menyampaikan kreativitas terbaik untuk dapat diapresiasi penikmat musik. Jika kemudian ada di antara karya mereka yang lebih banyak dibeli atau sebaliknya, itu pun bukan tanda kemenangan atau kekalahan. Terlebih, laku tidaknya sebuah karya tak selalu seiring dengan pencapaian musikalitas.
Oleh karena itu, ketika musisi semakin banyak terlahir, ketika grup musik semakin banyak terbentuk, hal itu semestinya menjadi anugerah bagi industri dan publik musik. Tentu jika pertumbuhan tersebut menjadi fondasi bagi bangunan industri yang berkualitas dan kian menawarkan banyak pilihan.
Sayangnya, dengan beberapa pengecualian, soal keberagaman ini justru langka ditemukan dalam industri musik kita. Muka-muka baru tak berhenti dilahirkan, namun karakter-karakter baru susah ditemukan. Mereka kompak mengusung cinta dengan kemasan musik yang tipikal yang dipandang tengah disukai pasar. Kecenderungan ini yang sesungguhnya lebih layak dikhawatirkan dari industri musik kita daripada soal pembajakan yang sekadar terkait dengan hak ekonomi.
Jika orientasinya melulu soal angka penjualan, harapan tentang keberagaman memang susah diwujudkan. Kita patut malu pada Linkin Park, U2, The Cranberries, dan sederet musisi dunia lain yang hidup dalam masyarakat yang mapan namun tak menghilangkan sensitivitas mereka terhadap lingkungan dan upaya untuk eksis dengan identitas masing-masing.
Dengan demikian, pertanyaan tentang persaingan di tengah kemunculan Peterpan dan The Titans sesungguhnya merupakan wujud reaksi yang tidak tepat, terlebih jika dibumbui dengan gosip dan hal-hal tak kontekstual lainnya.
Pertanyaan yang lebih bermakna untuk dikedepankan, apakah mereka mampu memperkaya khazanah musik Indonesia dengan identitas mereka ataukah sekadar bergerak bersama arus? Apakah mereka mampu menghidangkan karya-karya bergizi, yang enak sekaligus sehat untuk dinikmati, baik bagi musik maupun untuk kehidupan? Pertanyaan-pertanyaan ini tak bisa dijawab dengan identifikasi sesaat. Oleh karena itu, mari berproses dan terus kita saksikan. **
Penulis, pemerhati musik.
Labels: Opini Musik Seni
| Baca Selengkapnya |
Saya kira Peterpan makin mampu menunjukkan karakternya. Liriknya syarat emosi, beda dengan lirik-lirik pesanan.
Komentar dari Anonymous | 13/6/07
Tulisannya bagus-bagus... Bole dong belajar nulis.
Komentar dari Anonymous | 24/6/07