| Opini Musik & Seni | Opini & Resensi | Puisi | Cerpen | Refleksi |  

    | 

« Kembali ke Muka | Album Terbaru Iwan Fals 2007: "50/50" » | Sumpah-Serapah » | Tanpa Waktu » | Musim Semi Musik Indonesia » | Inventum » | Resensi: Keluar dari Perangkap Utang » | Asa Baru di Era Digital » | Membanggakan atau Sekadar Upacara? » | Musik, Masih Sebatas Tangis & Tawa » | Simfoni di Bulan Suci, Simfoni Peduli »

Polisi Tidur

Soal kebut-kebutan di jalan umum, bukan di sirkuit, barangkali ada di antara Anda atau saya yang menjadi jagonya. Tak merasa jengah ketika abai pada lingkungan, tak peduli pada hak hidup yang lain. Yang penting kita di depan, cepat sampai tujuan.

Berkecepatan tinggi di luar kewajaran dan bukan di tempat yang semestinya, tentu tak hanya menjengkelkan dan mengganggu ketentraman, tetapi juga membahayakan. Apalagi bagi anak-anak yang inderanya masih bertumbuh. Untuk itu, negeri ini punya satu solusi unik: “polisi tidur”, sebuah tonjolan melintang di jalan yang dibuat untuk menghambat laju kendaraan.


Ketika kepatuhan hanya nyata di hadapan yang fisik bukan pada yang hakiki, polisi tidur memang menjadi solusi jitu. Seabai-abainya, menghadapi polisi tidur, laju kendaraan pasti menurun.

Masalahnya, di banyak tempat, polisi tidur berkembang menjadi candu. Ini sebuah fakta di sebuah jalan di Bandung. Masyarakatnya begitu rajin membuat polisi tidur. Setiap kira-kira 20 meter, polisi tidur dibangun. Anehnya, jalan yang berlubang-lubang justru dibiarkan. Kendaraan pun selain tersendat oleh jalan berlubang juga oleh polisi tidur yang begitu banyak melintang, besar-besar pula.

Ketika jumlah dan bentuk polisi tidur tak lagi masuk akal, alasan untuk menghambat laju kendaraan tentu saja sudah tak tepat. Logika menghambat laju kendaraan pasti harus mengejawantah pada bentuk, jumlah, dan jarak antar-polisi tidur yang wajar.

Lantas, mengapa berlebih semen atau aspal malah digunakan untuk membuat banyak polisi tidur bukan menambal jalan berlubang? Yang ngebut dan yang hobi bikin polisi tidur, di manakah berada?

Kita mestinya khawatir jika di benak kita membiak semangat senang membuat susah orang lain, senang menambah persoalan, bukan bahagia membuat jawaban. Padahal jawabannya seringkali telah begitu terang benderang. Kita yang membaca reformasi sebagi enak untuk sendiri, harus banyak belajar.

Labels:

| Baca Selengkapnya |

Seputar Ukonisme

Komentar Terbaru

Arsip Bulanan

Sejak Februari 2007

Web Site Hit Counters

netter sedang online