Polisi Tidur
Soal kebut-kebutan di jalan umum, bukan di sirkuit, barangkali ada di antara Anda atau saya yang menjadi jagonya. Tak merasa jengah ketika abai pada lingkungan, tak peduli pada hak hidup yang lain. Yang penting kita di depan, cepat sampai tujuan.
Berkecepatan tinggi di luar kewajaran dan bukan di tempat yang semestinya, tentu tak hanya menjengkelkan dan mengganggu ketentraman, tetapi juga membahayakan. Apalagi bagi anak-anak yang inderanya masih bertumbuh. Untuk itu, negeri ini punya satu solusi unik: “polisi tidur”, sebuah tonjolan melintang di jalan yang dibuat untuk menghambat laju kendaraan.
Ketika kepatuhan hanya nyata di hadapan yang fisik bukan pada yang hakiki, polisi tidur memang menjadi solusi jitu. Seabai-abainya, menghadapi polisi tidur, laju kendaraan pasti menurun.
Masalahnya, di banyak tempat, polisi tidur berkembang menjadi candu. Ini sebuah fakta di sebuah jalan di Bandung. Masyarakatnya begitu rajin membuat polisi tidur. Setiap kira-kira 20 meter, polisi tidur dibangun. Anehnya, jalan yang berlubang-lubang justru dibiarkan. Kendaraan pun selain tersendat oleh jalan berlubang juga oleh polisi tidur yang begitu banyak melintang, besar-besar pula.
Ketika jumlah dan bentuk polisi tidur tak lagi masuk akal, alasan untuk menghambat laju kendaraan tentu saja sudah tak tepat. Logika menghambat laju kendaraan pasti harus mengejawantah pada bentuk, jumlah, dan jarak antar-polisi tidur yang wajar.
Lantas, mengapa berlebih semen atau aspal malah digunakan untuk membuat banyak polisi tidur bukan menambal jalan berlubang? Yang ngebut dan yang hobi bikin polisi tidur, di manakah berada?
Kita mestinya khawatir jika di benak kita membiak semangat senang membuat susah orang lain, senang menambah persoalan, bukan bahagia membuat jawaban. Padahal jawabannya seringkali telah begitu terang benderang. Kita yang membaca reformasi sebagi enak untuk sendiri, harus banyak belajar.
Berkecepatan tinggi di luar kewajaran dan bukan di tempat yang semestinya, tentu tak hanya menjengkelkan dan mengganggu ketentraman, tetapi juga membahayakan. Apalagi bagi anak-anak yang inderanya masih bertumbuh. Untuk itu, negeri ini punya satu solusi unik: “polisi tidur”, sebuah tonjolan melintang di jalan yang dibuat untuk menghambat laju kendaraan.
Ketika kepatuhan hanya nyata di hadapan yang fisik bukan pada yang hakiki, polisi tidur memang menjadi solusi jitu. Seabai-abainya, menghadapi polisi tidur, laju kendaraan pasti menurun.
Masalahnya, di banyak tempat, polisi tidur berkembang menjadi candu. Ini sebuah fakta di sebuah jalan di Bandung. Masyarakatnya begitu rajin membuat polisi tidur. Setiap kira-kira 20 meter, polisi tidur dibangun. Anehnya, jalan yang berlubang-lubang justru dibiarkan. Kendaraan pun selain tersendat oleh jalan berlubang juga oleh polisi tidur yang begitu banyak melintang, besar-besar pula.
Ketika jumlah dan bentuk polisi tidur tak lagi masuk akal, alasan untuk menghambat laju kendaraan tentu saja sudah tak tepat. Logika menghambat laju kendaraan pasti harus mengejawantah pada bentuk, jumlah, dan jarak antar-polisi tidur yang wajar.
Lantas, mengapa berlebih semen atau aspal malah digunakan untuk membuat banyak polisi tidur bukan menambal jalan berlubang? Yang ngebut dan yang hobi bikin polisi tidur, di manakah berada?
Kita mestinya khawatir jika di benak kita membiak semangat senang membuat susah orang lain, senang menambah persoalan, bukan bahagia membuat jawaban. Padahal jawabannya seringkali telah begitu terang benderang. Kita yang membaca reformasi sebagi enak untuk sendiri, harus banyak belajar.
Labels: Refleksi
| Baca Selengkapnya |