Asa Baru di Era Digital
Oleh UKON AHMAD FURKON
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 2007/012007/07/0503.htm
MUSIK Indonesia sepanjang 2006 lalu sepintas tampak baik-baik saja. Bahkan terasa gegap gempita. Album baru terus bermunculan. Perhelatan musik pun banyak digelar. Di tengah ragam bencana dan tragedi serta kisah-kisah tak patut semacam skandal para pejabat, kita masih mampu berbangga atas tergelarnya agenda berkelas internasional seperti Java Jazz Festival, JakJazz, dan bergemanya kiprah beberapa musisi kita di mancanegara, serta sederet prestasi musik lainnya.
Namun, dengan tidak menafikan penghargaan dan kebanggaan kita kepada para insan musik yang telah bekerja keras, masih terdapat beberapa sisi yang layak dikritisi agar industri musik di tanah air semakin dinamis dan eksis di tahun 2007 ini. Satu di antaranya soal keberagaman.
Di antara band-band yang tengah naik daun, hanya beberapa yang mencoba lepas dari kemasan musik yang rutin dan standar. Tercatat dua grup band populer yang menonjol untuk urusan pembaruan, yakni Nidji dan Letto.
Nidji membuat terobosan gemilang dengan mengusung kemasan pop yang terdengar baru kendati banyak terinspirasi brit-pop. Materinya dengan cita rasa dan kualitas rekaman yang juga memadai. Sedangkan Letto menghadirkan penyegaran dari sisi lirik dengan gaya yang puitis, bahkan kontemplatif kendati tema utamanya masih seputar cinta.
Jalur indie yang mestinya lebih sensitif terhadap pengembangan genre musik terasa kurang variatif. Indie seakan hanya dijadikan batu loncatan untuk masuk ke label besar.
Selain soal keberagaman, menutup akhir tahun 2006 lalu, kita juga dikejutkan oleh berita duka jatuhnya korban jiwa dalam konser Ungu di Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (19/12). Kisah seperti ini bukan yang pertama kali terjadi dan umumnya faktor ketidakprofesionalan penyelenggara menjadi penyebab utama.
Revolusi digital
Semangat untuk berani berbeda dan berkarya secara lebih merdeka sesungguhnya semakin mendapat tempat di tengah mulai merasuknya pemanfaatan teknologi digital di dunia musik. Dengan ragam kemudahan dan variasi media yang dapat digunakan, teknologi digital mengikis perangkap resep laku produser atau label yang kerap menjadi pagar bagi kreativitas. Peluang ini tentunya harus dapat dimanfaatkan dengan optimal.
Ihwal bersinerginya teknologi digital dengan dunia musik, terasa pada perkembangan perangkat selular. Setelah sukses dengan bisnis ringback tone, handset multimedia semakin meruyak. Telefon seluler tak lagi sekadar sebagai sarana komunikasi, tetapi menjelma menjadi alat hiburan lengkap, memutar musik hingga audio visual. Demikian pula dengan pemutar MP3 dengan beragam variannya yang dulu masih menjadi barang mewah, kini semakin murah dan makin masif digunakan.
Dengan perangkat digital, cara menikmati musik pun mengalami revolusi besar-besaran. Kita tak perlu lagi repot-repot membawa banyak kaset atau compact disc (CD). Cukup membawa alat mungil seukuran jari, kita siap menikmati ratusan lagu.
Di tahun 2007 ini, perangkat digital memiliki prospek besar untuk terus berkembang, makin canggih, makin beragam, dan dengan harga yang kian kompetitif. Seiring dengan itu, kebutuhan penikmat musik akan file musik digital pun akan terus bertambah. Asyiknya, kebutuhan ini telah mulai diendus sejak tahun 2006 dengan hadirnya perusahaan yang bermain di jalur ini, yakni Independent Music Portal (IM:Port).
Melalui portal di internet, IM:Port yang digagas Indra Lesma, Abdee Slank, dan Anang Hermansyah menampung karya musik dari siapa pun dan genre musik apa pun selama kualitas sound-nya layak untuk diputar. IM:Port kemudian menjualnya melalui portal internet, gerai IM:Port yang ada di M Studio, juga bekerja sama dengan perusahaan seluler. Layanan digital seperti yang dilakukan IM:Port juga menawarkan fleksibilitas lain kepada penikmat musik. Mereka dapat leluasa memilih lagu yang diinginkan sesuai dengan selera dan anggaran. Tak perlu lagi membeli satu album penuh untuk membeli satu lagu yang diinginkan.
Demikian pula bagi para musisi. Jika selama ini band atau solois dituntut membuat satu album, kini bermodalkan satu single saja mereka sudah bisa menjual karya mereka. Hal ini ikut mendorong musisi lebih bertanggung jawab kepada setiap lagu yang tercipta. Di tahun 2007 ini, bukan tak mungkin akan muncul gerai digital yang lebih representatif dengan aksesibilitas yang lebih baik. Seiring dengan perkembangan teknologi digital yang kian menjanjikan, harapan akan keberagaman mestinya semakin dapat diwujudkan. Dengan jangkauannya yang mendunia lewat jaringan internet, teknologi digital juga dapat lebih memuluskan upaya musisi tanah air untuk go international. ***
Penulis, pemerhati musik, tinggal di Bandung bekerja di Jakarta.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 2007/012007/07/0503.htm
MUSIK Indonesia sepanjang 2006 lalu sepintas tampak baik-baik saja. Bahkan terasa gegap gempita. Album baru terus bermunculan. Perhelatan musik pun banyak digelar. Di tengah ragam bencana dan tragedi serta kisah-kisah tak patut semacam skandal para pejabat, kita masih mampu berbangga atas tergelarnya agenda berkelas internasional seperti Java Jazz Festival, JakJazz, dan bergemanya kiprah beberapa musisi kita di mancanegara, serta sederet prestasi musik lainnya.
Namun, dengan tidak menafikan penghargaan dan kebanggaan kita kepada para insan musik yang telah bekerja keras, masih terdapat beberapa sisi yang layak dikritisi agar industri musik di tanah air semakin dinamis dan eksis di tahun 2007 ini. Satu di antaranya soal keberagaman.
Di antara band-band yang tengah naik daun, hanya beberapa yang mencoba lepas dari kemasan musik yang rutin dan standar. Tercatat dua grup band populer yang menonjol untuk urusan pembaruan, yakni Nidji dan Letto.
Nidji membuat terobosan gemilang dengan mengusung kemasan pop yang terdengar baru kendati banyak terinspirasi brit-pop. Materinya dengan cita rasa dan kualitas rekaman yang juga memadai. Sedangkan Letto menghadirkan penyegaran dari sisi lirik dengan gaya yang puitis, bahkan kontemplatif kendati tema utamanya masih seputar cinta.
Jalur indie yang mestinya lebih sensitif terhadap pengembangan genre musik terasa kurang variatif. Indie seakan hanya dijadikan batu loncatan untuk masuk ke label besar.
Selain soal keberagaman, menutup akhir tahun 2006 lalu, kita juga dikejutkan oleh berita duka jatuhnya korban jiwa dalam konser Ungu di Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (19/12). Kisah seperti ini bukan yang pertama kali terjadi dan umumnya faktor ketidakprofesionalan penyelenggara menjadi penyebab utama.
Revolusi digital
Semangat untuk berani berbeda dan berkarya secara lebih merdeka sesungguhnya semakin mendapat tempat di tengah mulai merasuknya pemanfaatan teknologi digital di dunia musik. Dengan ragam kemudahan dan variasi media yang dapat digunakan, teknologi digital mengikis perangkap resep laku produser atau label yang kerap menjadi pagar bagi kreativitas. Peluang ini tentunya harus dapat dimanfaatkan dengan optimal.
Ihwal bersinerginya teknologi digital dengan dunia musik, terasa pada perkembangan perangkat selular. Setelah sukses dengan bisnis ringback tone, handset multimedia semakin meruyak. Telefon seluler tak lagi sekadar sebagai sarana komunikasi, tetapi menjelma menjadi alat hiburan lengkap, memutar musik hingga audio visual. Demikian pula dengan pemutar MP3 dengan beragam variannya yang dulu masih menjadi barang mewah, kini semakin murah dan makin masif digunakan.
Dengan perangkat digital, cara menikmati musik pun mengalami revolusi besar-besaran. Kita tak perlu lagi repot-repot membawa banyak kaset atau compact disc (CD). Cukup membawa alat mungil seukuran jari, kita siap menikmati ratusan lagu.
Di tahun 2007 ini, perangkat digital memiliki prospek besar untuk terus berkembang, makin canggih, makin beragam, dan dengan harga yang kian kompetitif. Seiring dengan itu, kebutuhan penikmat musik akan file musik digital pun akan terus bertambah. Asyiknya, kebutuhan ini telah mulai diendus sejak tahun 2006 dengan hadirnya perusahaan yang bermain di jalur ini, yakni Independent Music Portal (IM:Port).
Melalui portal di internet, IM:Port yang digagas Indra Lesma, Abdee Slank, dan Anang Hermansyah menampung karya musik dari siapa pun dan genre musik apa pun selama kualitas sound-nya layak untuk diputar. IM:Port kemudian menjualnya melalui portal internet, gerai IM:Port yang ada di M Studio, juga bekerja sama dengan perusahaan seluler. Layanan digital seperti yang dilakukan IM:Port juga menawarkan fleksibilitas lain kepada penikmat musik. Mereka dapat leluasa memilih lagu yang diinginkan sesuai dengan selera dan anggaran. Tak perlu lagi membeli satu album penuh untuk membeli satu lagu yang diinginkan.
Demikian pula bagi para musisi. Jika selama ini band atau solois dituntut membuat satu album, kini bermodalkan satu single saja mereka sudah bisa menjual karya mereka. Hal ini ikut mendorong musisi lebih bertanggung jawab kepada setiap lagu yang tercipta. Di tahun 2007 ini, bukan tak mungkin akan muncul gerai digital yang lebih representatif dengan aksesibilitas yang lebih baik. Seiring dengan perkembangan teknologi digital yang kian menjanjikan, harapan akan keberagaman mestinya semakin dapat diwujudkan. Dengan jangkauannya yang mendunia lewat jaringan internet, teknologi digital juga dapat lebih memuluskan upaya musisi tanah air untuk go international. ***
Penulis, pemerhati musik, tinggal di Bandung bekerja di Jakarta.
Labels: Opini Musik Seni
| Baca Selengkapnya |