| Opini Musik & Seni | Opini & Resensi | Puisi | Cerpen | Refleksi |  

    | 

« Kembali ke Muka | Simfoni di Bulan Suci, Simfoni Peduli » | Gerakan Hemat Listrik yang Tepat » | Musik Indonesia di Pentas Dunia » | Taksi Kota Bandung Jangan "Pundung"! » | Oase Menyegarkan di Saat Jazz Kesepian » | Kepekaan yang Menyusut » | Retak Peterpan, Wajar Heboh atau Heboh tak Wajar? » | Kisah Kembara » | Tanpa Sisa » | Kutitipkan Salam »

Musik, Masih Sebatas Tangis & Tawa

Oleh UKON AHMAD FURKON

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/26/0902.htm

ADAKAH daya hidup yang lebih kuat selain harapan? Adakah kebahagiaan yang lebih membahagiakan selain harapan menjadi kenyataan? Ya, harapan. Setelah sekian lama didera krisis, setelah jutaan jam menguap dalam iklim yang serbamenekan, tahun 2004 menawarkan sebongkah harapan.

Harapan. Itu pula yang menggelayuti hari-hari musik sepanjang 2004. Soal pembajakan, misalnya, muncul harapan besar agar pelaksanaan dari Undang-Undang Hak Cipta No. 19/2002 yang mulai diterapkan sejak 29 Juli 2003, semakin menemukan bentuknya di tahun 2004. Apalagi, di banyak mimbar di kerap kesempatan, pemerintahan baru tak lelah menggembar-gemborkan tekadnya untuk menegakkan hukum, termasuk di dalamnya memberantas pembajakan. Namun, apabila disandingkan dengan fakta, sering kali harapan begitu menyesakkan dada. Hingga hari ini, pembajakan yang merampas hak hidup seniman serta merugikan harkat dan pendapatan negara itu belum juga memperoleh penanganan yang memadai. Buktinya, barang-barang bajakan masih aman dan nyamannya dijajakan di banyak tempat, kalau perlu di depan gedung-gedung aparat.

Konser

Seperti dalam hal memberantas pembajakan, perjalanan musik sering kali memang dipengaruhi oleh hal-hal di luar dirinya. Dalam hal perhelatan konser, misalnya, beberapa konser musik mancanegara terpaksa dibatalkan, bukan karena ketidaksiapan publik musik, melainkan umumnya karena adanya travel warning dari negara-negara asal artis yang akan konser. Hal ini terkait dengan keamanan Indonesia yang dinilai kurang kondusif, terutama dihubungkan dengan beberapa peristiwa tragedi kemanusiaan, seperti peledakan bom di Kedubes Australia Jakarta (9/9). Publik musik pun akhirnya tak bisa menyaksikan aksi musisi-musisi seperti Missy Elliott, Yes, Gareth Gates, Boys II Men, Julio Iglesias, hingga Alanis Morisette, yang sebelumnya telah dijadwalkan manggung di tanah air.

Beruntung sebagian konser musisi manca negara lainnya tetap dilangsungkan. Selain karena keuletan event organizer untuk meyakinkan bahwa keamanan Indonesia tidak seburuk seperti yang diberitakan, hal itu juga karena "kenekatan" dari para musisinya sendiri. "Kami memandang sebelah mata travel warning yang diberikan negara kami kepada Indonesia," ujar Chester Bennington, vokalis Linkin Park dalam jumpa pers sebelum menggelar konsernya di Jakarta.

Konser-konser musisi manca negara tersebut antara lain konser Korn di Jakarta (5/2), Toto (Jakarta, 11/2), Helloween di Surabaya (11/2), Jakarta (12/2), dan Yogyakarta (13/2), Mariah Carey (Jakarta, 15/2), Brian McKnight (Jakarta, 19/2), Enrique Iglesias (Jakarta, 28/3), Deep Purple (Jakarta, 12/4), Maksim (Jakarta, 27/4), Linkin Park (Jakarta, 13/6), Guy Australian Idol 2003 (Jakarta, 14/7), Hoobastank (Jakarta, 12/8), Scorpions (Jakarta, 16/9), dan Blue (Jakarta, 23/9).

Di antara konser musisi mancanegara yang digelar sepanjang tahun 2004, konser Linkin Park Meteora World Tour 2004 di Pantai Carnaval Ancol Jakarta layak mendapat catatan tersendiri. Di samping penampilan para personelnya yang prima, konser musik cadas ini mampu ditata apik, tanpa kerusuhan, dan lebih menarik lagi, tidak ada asap rokok!

Yang agak di luar dugaan justru penampilan Mariah Carey dalam konser Charmbracelet World Tour 2004 di Jakarta Convention Center (JCC). Penyanyi yang konon memiliki range vokal hingga tujuh oktaf ini tampil tanpa emosi dan tidak menghadirkan kemampuan terbaiknya. Jika musisi manca negara bisa konser di Indonesia, mengapa tidak musisi negeri ini melakukan hal serupa, berkonser di luar negerinya. Setidaknya itu yang dilakukan Ruth Sahanaya yang menggelar konser di Singapura (17/2), Dewa di Timor Leste (15/5) dan beberapa tempat di Amerika Serikat, Jamrud di Timur Leste (28/8), Krisdayanti di Jepang (4/12), serta beberapa konser artis Indonesia lainnya di mancanegara.

Soal penampilan artis Indonesia di mancanegara, apresiasi tinggi layak diberikan kepada Elfa's Singers. Dalam Olimpiade Paduan Suara ke-3 di Jerman (19-27/10), grup ini mampu menduduki juara umum urutan keenam dengan raihan 2 grand champion, 3 emas, dan 7 perak. Tentu saja ini prestasi yang sangat membanggakan, apalagi gelaran Choir Olympic ini diikuti oleh banyak peserta, yakni 83 negara, 800 grup, dan 18.000 penyanyi.

Di samping itu, para musisi dalam negeri pun tak lupa meramaikan panggung musik tanah air. Berbeda dengan konser artis manca negara yang masih sangat terasa sentralistis Jakarta, konser artis dalam negeri digelar di berbagai kota. Satu yang tentunya tak bisa lepas dari catatan musik 2004 adalah gelaran spektakuler A Mild Live Soundrenaline 2004 di Padang (28/11), Malang (5/12), Makassar (12/12), dan Jakarta (18-19/12).

Soundrenaline kali ini mengusung tema khusus, yakni Make Music Not War. Yang agak membingungkan, kecuali untuk beberapa nama, tema ini tidak tampak jelas terejawantahkan, baik pada lagu-lagu yang dibawakan maupun artis yang dipilih.

Sayangnya, di tengah ingar-bingar konser musik yang digelar sepanjang 2004, tercatat beberapa tragedi yang sangat tidak diharapkan. Salah satu di antaranya adalah tragedi meninggalnya seorang penonton pada Soundrenaline di Malang akibat tersengat aliran listrik. Peristiwa terkini yang juga sangat memilukan adalah meninggalnya dua orang penonton pada konser "Gigi" di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (19/12).

Musibah sering kali memang sangat tidak terduga. Ketetapan Tuhan tak bisa dielakkan. Namun, dalam sebuah semangat bernama profesionalisme, ada upaya-upaya maksimal yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.

Generasi baru

Harapan. Di tengah acara reality show berisi kontes menyanyi seperti Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, dan Kontes Dangdut Indonesia (KDI) yang menangguk popularitasnya di tahun 2004, muncul harapan tentang lahirnya muka-muka baru di belantika musik tanah air.

Di luar AFI, Indonesian Idol, atau KDI yang digerakkan oleh stasiun-stasiun televisi swasta dengan biaya besar, generasi baru musik Indonesia juga bermunculan secara mandiri, kendati tidak dalam jumlah yang banyak. Grup asal Kota Bandung, Peterpan makin mengukuhkan eksistensinya dengan album "Bintang di Surga". Kemudian ada Agnes Monica yang sukses menyabet tiga penghargaan ”Anugera Musik Indonesia (AMI) Samsung Awards 2004” lewat album perdana "And the Story Goes". Lagi-lagi, band asal Bandung, Seurieus dan Mocca juga hadir dengan album kedua mereka.

Di tengah banyaknya bermunculan muka-muka baru, musisi senior juga masih mampu menunjukkan eksistensinya. Beberapa yang pada tahun 2004 ini mengeluarkan album antara lain Chrisye dengan album "Senyawa”, Dewa ("Laskar Cinta"), Jamrud ("BO +18"), dan Iwan Fals ("Manusia 1/2 Dewa"). Dua dari album tersebut sempat mengalami masalah. Album "Senyawa" milik Chrisye sempat bermasalah karena mencantumkan nama musisi yang berbeda label company dalam cover albumnya. Sedangkan album "Manusia 1/2 Dewa" milik Iwan Fals sempat menjadi kontroversi karena cover album dan sebagian liriknya dianggap melecehkan agama Hindu oleh sementara pihak. Album Jamrud "BO +18" yang baru dirilis akhir tahun, tampaknya potensial pula menelurkan kontroversi sehubungan dengan lirik-liriknya yang sangat vulgar.

Dari album yang dirilis sepanjang tahun 2004, tak ada satu album pun yang mampu mencatat angka penjualan spektakuler hingga jutaan keping. Hal ini bisa terjadi karena masih maraknya pembajakan, konsentrasi masyarakat yang tidak tengah tertuju kepada musik, atau barangkali sepanjang 2004 memang tidak ada album yang memiliki daya magnet kuat yang mampu menarik penikmat musik untuk berbondong-bondong membeli.

Jebakan rutinitas

Di tengah situasi kehidupan nasional yang masih juga diterpa beragam persoalan, industri musik boleh sedikit lega, karena baik itu industri rekaman maupun panggung pertunjukan masih mampu bergulir, dengan sederet catatan tentu saja. Namun, yang patut menjadi perhatian seluruh insan musik, sepertinya musik di tahun 2004 ibarat menjalankan rutinitas semata. Tidak ada gebrakan, daya kejut, atau apa pun yang membuat dunia musik menjadi begitu bergairah, sekaligus menjadi lebih bermakna di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Musik pun masih lebih kerap dipandang sekadar alat bersuka atau bertangis massal saat sedih tereliminasi. Belum ada pengendapan mendalam untuk menempatkan musik dalam ruangnya yang holistik. Padalah sesungguhnya, beragam peristiwa kehidupan nasional yang tengah bergerak, dapat memosisikan musik menjadi lebih bermakna. Dalam pada itu, meninggalnya seniman seperti Harry Roesli, menjadi sebuah kehilangan yang sangat besar. Bukan sekadar kehilangan karena keberadaannya secara individual, tetapi juga kehilangan akan kiprah serta segala dedikasi dan terobosannya.

Di tahun depan, keluar dari jebakan rutinitas itu sangat diperlukan. Butuh gebrakan, langkah-langkah terobosan, baik itu dalam hal penghayatan seniman dan penikmat musik terhadap hakikat bermusik, maupun dalam hal membangun infrastruktur musik menjadi lebih baik. Sebut misalnya, di tahun 2005, masalah pembajakan benar-benar mendapat penanganan yang serius.***

(Penulis, pengamat musik).

Labels:

| Baca Selengkapnya |

Seputar Ukonisme

Komentar Terbaru

Arsip Bulanan

Sejak Februari 2007

Web Site Hit Counters

netter sedang online