Resensi: Keluar dari Perangkap Utang
Judul : Indonesia Tanah Air Beta
Penulis : Prof. Dr. Sritua Arief
Kata Pengantar : Prof. Drs. Dochak Latief
Penerbit : Muhammadiyah University Press, Surakarta
Tebal : (xix + 336) halaman
Utang luar negeri sudah sejak lama menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur pembangunan kita. Pada awalnya, keberadaannya digembar-gemborkan sebagai pelengkap pembangunan, sedangkan pembiayaan utama dititikberatkan pada mobilisasi sumber-sumber domestik.
Akan tetapi pandangan itu ternyata hanyalah jargon dalam perencanaan pembangunan nasional sejak masa Orde Baru. Pemerintah tidak dapat menampik bahwa utang malah menjadi tumpuan. Jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun hingga akhirnya Indonesia masuk dalam perangkap utang (debt trap). Pertumbuhan ekonomi dengan utang sebagai penopangnya menjadi bencana yang secara dramastis dirasakan, khususnya sejak tahun 1998 (awal krisis) hingga sekarang.
Sesungguhnya sejak lama pula sudah terdapat sebagian pihak yang mengingatkan bahwa utang luar negeri bisa menjadi bumerang. Salah satu di antaranya adalah ekonom terkemuka, Prof. Dr. Sritua Arief. Sejak tahun 1970-an ia konsisten mengemukakan sudut pandangnya tentang bahaya utang luar negeri dan peran lembaga donor yang intervensionis. Hasil pemikirannya tersebut antara lain terejawantah dalam tulisan-tulisannya di berbagai media cetak. Sebagian dari tulisan tersebut kini terhimpun dalam bentuk buku berjudul Indonesia Tanah Air Beta.
Buku ini terdiri dari empat bab dengan dua garis besar bahasan. Pertama, paparan kondisi perekonomian nasional yang dililit utang dan peranan lembaga donor (khususnya IMF dan Bank Dunia) dalam melakukan campur tangan. Kedua, alternatif pemikiran untuk mereorientasikan startegi pembangunan dengan memberikan penekanan pada pemberian peluang yang lebih besar pada ekonomi rakyat.
Utang Indonesia, Derita Indonesia
Gambaran utang luar negeri Indonesia sampai tahun 1999 menunjukkan trend meningkat. Bahkan jika utang tersebut dibandingkan terhadap produk domestik bruto (GDP), kondisinya sangat memilukan. Betapa tidak, sampai akhir tahun 1998, rasio utang luar negeri terhadap GDP mencapai 162,7%. Jika tahun selanjutnya utang kian bertambah dan pertumbuhan ekonomi relatif stagnan (karena krisis), yang lantas terjadi adalah pendapatan perkapita rakyat Indonesia sebagai penanggung beban utang sudah berada di bawah nilai utang tersebut (Hal. 188).
Bila sejauh ini Indonesia di mata donor dikenal sebagai good boy, sebenarnya julukan itu hanya semu belaka. Kenyataannya, pembayaran cicilan dan pokok utang semakin banyak dilakukan, serta semakin besar akumulasi utang yang dipinjam. Cicilan dan bunga utang yang dibayar kemudian lebih besar dari utang baru yang diterima sehingga terjadi net transfer ke luar negeri.
Nasib perekonomian yang ditopang utang makin tidak menyenangkan apabila dikaitkan dengan peran lembaga-lembaga donor dalam memutuskan dan menyalurkan pinjamannya. Dengan mengutip Krauss, Arief sependapat bahwa utang luar negeri akan meningkatkan intervensi negara donor dan merusak prinsip-prinsip ekonomi dengan mengabaikan keunggulan komparatif di negara penerima bantuan.
Lembaga donor seperti IMF atau Bank Dunia, dalam campur tangannya seringkali memberikan resep yang justru memperparah kondisi ekonomi suatu negara. Ketidakbecusan mereka dalam memberikan resep kepada negara-negara berkembang telah dilaporkan oleh Graham Bird melalui studinya yang meliput 90 negara (Hal. 132).
Dalam banyak kasus, termasuk Indonesia, dampak negatif dari utang luar negeri dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, utang luar negeri memberikan dampak negatif terhadap tabungan domestik, sehingga terjadi apa yang disebut dengan aid-switching. Akibatnya pula utang luar negeri telah mensubstitusi tabungan domestik. Kedua, utang luar negeri mempertahankan overvalued currency sehingga mempermudah impor untuk tujuan yang tidak produktif. Ketiga, sebagian besar dana utang dibelanjakan ke negara pemberi utang sehingga yang diuntungkan sebenarnya adalah negara-negara donor. Kondisi ini semakin diperparah oleh pengelolaan utang yang sembrono yang antara lain diwarnai oleh praktek-praktek korupsi dan kolusi.
Alternatif Pemikiran
Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut perekonomian nasional yang menanggung beban utang demikian berat? Menurut Arief, pemecahan atas persoalan tersebut berangkat dari titik tolak pemikiran bahwa pembangunan ekonomi harus diartikan sebagai perkembangan ekonomi rakyat dengan segala aspek kehidupannya.
Selama ini kelemahan Indonesia terletak pada struktur sosial yang pincang. Oleh karena itu, mutlak diperlukan restrukturisasi sosial, terutama restrukturisasi penguasaan/ pemilikan aset ekonomi (hal 289). Dengan demikian, pembangunan ekonomi merupakan proses transformasi sosial dan ekonomi secara bersama-sama.
Program-program yang ditawarkan Arief yang disebutnya sebagai program ekonomi kerakyatan mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pertama, melaksanakan etika produksi baru, yakni menghasilkan produk yang komposisi dan isinya memihak kepada kepentingan rakyat banyak. Produk-produk tersebut mendominasi struktur produksi nasional sehingga dapat menjamin perluasan kesempatan kerja dan pendapatan yang layak.
Kedua, melaksanakan demokrasi ekonomi dengan menegakkan sistem ekonomi rakyat. Sistem ini menolak penguasaan aset oleh segelintir orang atau etatisme negara.
Ketiga, strategi industrialisasi, yakni industri yang didasarkan pada etika produksi baru dengan distribusi yang merata pada tingkat distrik. Pengertian distrik tidak melulu batasan administratif tetapi lebih bersifat ekonomis.
Keempat, pembangunan koperasi sebagai tulang punggung perekonomian seperti diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Koperasi diharapkan menjadi unit-unit usaha, tidak melulu berskala kecil dan menengah tetapi juga unit skala besar. Bagi Arief, pasal 33 berfungsi untuk mengelola dan melakukan koreksi pasar demi kemakmuran dan kedaulatan rakyat.
Tulisan-tulisan dalam buku ini dibuat dalam kemasan ilmiah populer sehingga menjadi santapan yang cukup renyah bagi pembaca yang awam ilmu ekonomi sekalipun. Hanya saja, seperti umumnya buku-buku yang berisi kumpulan tulisan, buku ini menunjukkan kelemahan pada proses editing. Terdapat beberapa bahasan yang diulang-ulang pada tulisan yang berbeda sehingga menjadi mubajir. Jika saja dalam proses editingnya mau sedikit bersusah-susah, kelemahan ini pasti bisa diatasi.
Sementara itu, dalam konstelasi pemikir pembangunan ekonomi, Arief termasuk dalam kubu yang minoritas. Ia dapat dikelompokkan dengan orang-orang seperti Sri Edi Swasono, Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan Mubyarto. Konsistensi dalam memegang teguh ideologi pembangunan yang mandiri dan bebas patut diberikan nilai plus. Ironisnya pemikiran-pemikiran ini semakin terdepak dari lingkungan ekonom nasional sebagaimana tampak dalam berdebatan mengenai pasal 33 UUD 45 beberapa waktu lalu. Semoga kehadiran buku ini memberikan inspirasi bagi pemikir muda yang kelak dikemudian hari memimpin negeri ini. ***
Bambang Waluyanto dan Ukon Ahmad Furkon,
pengamat sosial-ekonomi,
peneliti pada Pusat Pengembangan Masyarakat dan Kawasan (PPMK), Jakarta
Labels: Opini dan Resensi
| Baca Selengkapnya |
awal yang baik
Komentar dari Anonymous | 5/1/10