| Opini Musik & Seni | Opini & Resensi | Puisi | Cerpen | Refleksi |  

    | 

« Kembali ke Muka | Katakataraskita » | Kekasihku Sejati » | Ukonisme Diliput Harian "Solopos" » | Buat Om dan Tante yang Budiman » | Sebelum Subuh » | Mengapa Engkau Datang sebagai Sepi? » | Tukang Kritik di Negeri Gelap Mata » | Peterpan dan The Titans: Persaingan atau Meragamka... » | Tersenyumlah Agar Kehidupan Tersenyum » | Sumpah Serapah Perjuangan »

Selamatkan (Kualitas) Musik Indonesia!

Kuatnya desakan untuk menebar ratapan cinta, bahkan menjebak Ahmad Dhani yang konon punya misi mencerdaskan selera musik Indonesia, untuk ikut melahirkan karya yang mulai terlihat picisan seperti yang terlihat pada projek "Munajat Cinta" bersama The Rock. Kencangnya tuntutan produser telah pula memaksa musisi sekaliber Iwan Fals untuk merelakan setengah sisi dari album "50:50" diisi oleh lagu-lagu jualan.

Lihat di http://www.pikiran-rakyat.co.id edisi 23 Desember 2007

Oleh UKON AHMAD FURKON

SEANDAINYA saat ini Harmoko masih menjadi Menteri Penerangan, boleh jadi dia tengah berpikir untuk kembali mengeluarkan peraturan sebagaimana pernah ia terbitkan pada dekade 1980-an, melarang peredaran lagu pop cengeng. Melalui tulisan ini kita tentu tidak sedang mempertimbangkan opsi larang-melarang yang tak punya tempat dalam peradaban budaya maju. Akan tetapi, bahwa lagu-lagu cengeng kembali meruyak dan semakin menguat dalam satu tahun terakhir, itu adalah fakta yang tak terbantahkan.

Homogenitas pilihan tema serta penggunaan kata dan kalimat yang miskin dan serampangan, begitu mudah kita temukan. Di banyak lagu, terhidang kata-kata tipikal seperti "maaf", "bintang", dll. Demikian pula dengan tema yang melulu cinta, terutama yang berkisah soal pupusnya harapan cinta, patah hati, cinta bertepuk sebelah tangan, ratapan akan datangnya seorang kekasih, atau malah lebih "menye-menye" lagi.

Rasa prihatin layak pula disematkan pada sisi musikalitas. Untuk mencoba eksis, sepertinya ada formula instan, yakni racikan musik melankolis dan mendayu-dayu. Kita tak habis pikir ketika suatu grup band yang telah membawa musik cengeng pada kadar yang semakin parah, dengan kualitas musikal dan vokal yang sangat pas-pasan, justru laku di pasaran.

Kita juga heran mengapa musisi sekaliber Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang dulu sempat melahirkan karya-karya provokatif dan cerdas lewat grup Potret, kini terlihat begitu "ngejar setoran" lewat projek "jual tampang" bernama "Bukan Bintang Biasa" (BBB).

Apa yang tengah terjadi pada musik Indonesia? Apakah selera penikmat musik sedang terjerembab pada titik terendah, idealisme para musisi telah semakin terdegradasi, ataukah kuasa para pemilik modal tambah dominan dan semakin berorientasi uang?

Perangkap Siklus

Menyibak kembali lembaran sejarah, sepertinya perjalanan musik Indonesia terperangkap dalam suatu siklus. Di tahun 1970-an, musik kita sempat mencatatkan tinta emas dengan lahirnya karya-karya bermutu seperti "Badai Pasti Berlalu" garapan Eros Djarot dkk, projek Guruh Gipsy, "Ken Arok"-nya Harry Roesli, repertoar Yockie Soeryoparyogo bertitel "Musik Saya adalah Saya", hingga ajang Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang melahirkan musisi-musisi andal.

Namun, di era 1980-an musik kita tak kuasa membendung serbuan lagu mendayu-dayu. Dengan bantuan acara-acara musik di TVRI seperti Aneka Ria Safari, Selekta Pop, dan Kamera Ria, lagu-lagu seperti "Hati yang Luka" (Betharia Sonata), "Gelas-gelas Kaca" (Nia Daniaty), "Jangan Sakiti Hatinya" (Iis Sugianto), atau "Antara Benci dan Rindu" (Ratih Purwasih) mampu membius pasar musik. Pencipta lagu seperti Obbie Messakh, Deddy Dores, Rinto Harahap, dan Pance Pondaag pun mengecap popularitasnya.

Sampai akhirnya Harmoko yang menjabat Menteri Penerangan saat itu mengeluarkan kebijakan untuk membredel lagu-lagu cengeng seperti itu. Memasuki era 1990-an musik Indonesia mendapatkan angin segar. Saat itu bermunculan musisi-musisi berpendirian. Ketika ruang berkesenian masih dihantui represi, musisi saat itu justru mampu menempatkan album sebagai sarana berekspresi, berpendapat, dan punya posisi penting dalam kehidupan secara keseluruhan. Totalitas mereka berikan untuk melahirkan karya-karya yang bermutu, dari mulai konsep musik, lirik, artwork sampul album, hingga video klip. Begitu banyak eksplorasi hingga terlahir karya-karya yang bergizi.

Lantas, kita memiliki KLA Project dengan lagu-lagu cinta universalnya yang dalam dan menyentuh. Ebiet G. Ade, Iwan Fals, Swami, Slank, hingga Kantata Takwa dengan kontemplasi dan protes-protes sosialnya, juga sederet nama lain yang layak dibanggakan seperti Dewa 19, Gigi, hingga Padi.

Di Bandung, Pas Band menjadi inspirator lahirnya gerakan bermusik independen di tanah air lewat mini album legendaris bertitel "4 Through The Sap".

Menginjak awal milenium baru, sepertinya serbuan pop cengeng mendayu-dayu kembali mengencang. Begitu banyak pendatang baru yang hadir dengan pola seperti itu sampai akhirnya disempurnakan oleh kehadiran Kangen Band.

Kuatnya desakan untuk menebar ratapan cinta, bahkan menjebak Ahmad Dhani yang konon punya misi mencerdaskan selera musik Indonesia, untuk ikut melahirkan karya yang mulai terlihat picisan seperti yang terlihat pada projek "Munajat Cinta" bersama The Rock. Kencangnya tuntutan produser telah pula memaksa musisi sekaliber Iwan Fals untuk merelakan setengah sisi dari album "50:50" diisi oleh lagu-lagu jualan. Barangkali ini merupakan trik Iwan untuk sedikit berkompromi mengingat iklim musik yang tidak bersahabat. Namun, akan jauh lebih membanggakan jika Iwan mampu "istiqomah" dan kembali ke "khittah"-nya.

Beruntung, sepanjang tahun 2007 masih ada beberapa nama yang menawarkan titik cerah di tengah kesumpekan. Para musisi yang lebih senior boleh tertunduk malu karena titik cerah itu justru dihadirkan oleh penyanyi belia bernama Sherina lewat album "dewasa" pertamanya, "Primadona".

Berbeda dengan sebagian besar penyanyi, Sherina mencipta sendiri sebagian besar musik, lirik, dan aransemennya. Hasilnya, suatu karya out of the box, dengan sajian musik yang elegan dan lirik-lirik yang tidak pasaran.

Selanjutnya ada Padi yang kembali memberi pelajaran bagaimana cara bermain musik yang baik dan benar. Lewat album baru mereka, "Tak Hanya Diam", Padi mengusung sajian musik gemilang dengan lirik-lirik yang semakin menunjukkan kepedulian pada masalah-masalah sosial.

Beberapa album lain yang masih membangkitkan kebanggaan pada musik pop tanah air antara lain album "Hari yang Cerah" (Peterpan), "Peace, Love `n Respect" (Gigi), "Televisi" (Naif), "Free Your Mind" (Maliq & D`essentials), dan "Slow but True" (Slank).

Di jalur indie, dua jempol layak diberikan kepada band bernama Efek Rumah Kaca yang menelurkan album dengan titel yang sama. Lewat album tersebut, Efek Rumah Kaca menawarkan pilihan lirik dan nada yang atmosferik dan dalam. Ada lagu "Cinta Melulu" yang dengan jitu mengkritik kondisi musik Indonesia saat ini. "Di Udara" yang memberikan apresiasi pada perjuangan almarhum Munir, serta sederet lagu-lagu berkelas lainnya.

Peran Media

Terperosoknya kualitas musik Indonesia yang semakin kentara dalam satu tahun terakhir, bukan semata tanggung jawab musisi, penikmat, dan produser musik. Gugatan layak pula dialamatkan kepada media, baik cetak maupun elektronik. Mencerdaskan pasar musik, justru semakin rajin melakukan aksi pembodohan melalui acara-acara hiburan yang melulu mengobral gosip dan kehidupan pribadi artis.

Jika kita amati, dari puluhan acara infotainment yang saat ini eksis di televisi, tercatat hanya acara "Show Biz News" (Metro TV) yang mampu menjalankan perannya dengan baik. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan (kualitas) musik Indonesia, media punya andil besar.

Di tahun 2008, sinergi seperti itu semoga mulai menemukan bentuknya, terlebih infrastruktur musik semakin mendukung. Jaringan internet dan perkembangan teknologi digital menjadi modal penting bagi musisi untuk keluar dari tekanan para pemodal besar. Sementara itu, barcode PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi & Pencipta Lagu Republik Indonesia) yang mulai diberlakukan pada album musik yang mampu mengawasi hasil penjualan secara lebih presisi dan transparan, menempatkan musisi pada posisi yang semakin berdaya dalam tata niaga musik di tanah air. ***

Penulis, pemerhati musik, tinggal di Bandung.


Labels:

| Baca Selengkapnya |

Saya rasa komentar Mas Ukon terlalu berlebihan dan kritiknya "seolah-olah" mengklaim memiliki pemahamam yang sempurna tentang musik, lirik, dlsb.

Secara singkat, menurut pemahaman saya yg sederhana, karya musik, film, sinetron, novel atau karya seni lain (dan termasuk juga karya-karya atau tulisan2 dlm ilmu sosial) pada dasarnya adalah sebuah "penggambaran yang sederhana" tentang realitas atau fenomena kemanusian dan sosial yang diamati oleh sang penulis/seniman. Sebagai sebuah penggambaran yg sederhana, sebuah "lagu" (dalam hal ini lirik-nya) tentunya mencoba "menyederhanakan" realitas kemanusian yang kompleks ke dalam kata-kata yang singkat. Oleh karenanya, sebuah kisah cinta seseorang yang sesungguhnya rumit dan panjang, dapat ditangkap dan disederhanakan oleh pengarang lagu menjadi sekitar 3 sampai 5 menit. Jadi, pada intinya lagu adalah sebuah "model" atau representasi sederhana dari kenyataan sosial, yang sesungguhnya lebih rumit.

Berdasarkan pemahaman ini saya memandang bahwa kenyataan "menjomblo" yang direpresentasikan dengan kata-kata "ku sendiri" dalam lagu Munajat Cinta karya Dhani adalah fenomena yang sangat wajar dalam kehidupan manuasia. Menurut saya banyak sekali orang yang mengalami "slalu pupus" dalam kehidupan percintaannya. Dalam kondisi seperti ini adalah sangat biasa/lumrah apabila mereka bermunajat kepada Tuhan untuk "kirimkan lah kekasih yang baik hati". What's wrong with this lyric?? Saya rasa, lagu Munajat Cinta adalah termasuk sebuah model atau representasi sederhana dari realitas cinta dan pengharapan yang biasa dialami orang. Dengan demikian sebagai seorang seniman Dhani berhasil "memotret" realitas tersebut.

Coba sekarang kita bahas lagu Send Me tha Pilow that you dream on....(Everly Brothers). Lagu ini kelihatan aneh dan tidak menggambarkan realitas sesungguhnya, sebab mana mungkin seseorang minta dikirim bantal. Ini bukan sekedar cengeng, tapi tidak masuk akal. Namun, jangan salah!! Metafora adalah hal yang biasa dalam karya seni. Jangan kita terlalu mudah menilai buruk contoh lagu Send me the pilow tsb sbg lagu yg tidak masuk akal. Sebagai suatu gaya metafor, tentu penggunaan "bantal" adalah sangat klop dengan dunia "mimpi"; dan mimpi biasanya bersifat indah. Dengan demikian si pengarang lagu mencoba memodelkan bahwa banyak orang berharap bahwa realitas percintaannya indah, seindah mimpi yang dialami pacarnya dalam tidurnya....dst

Jadi menurut saya, kita tidak usah terdikotomi dengan mazab lagu cengeng dan lagu tidak cengeng yg seolah-olah berkualitas. Masalah kualitas sebenarnya adalah hanya semata-mata persepsi pendengar: it's all about perception!! Sederhananya, asalkan sebuah lagu sudah memenuhi prinsip-prinsip "harmonik" (keselarasan perpaduan nada) menurut hemat saya lagu tersebut sulit untuk dikatakan jelek (dari segi musikalitas). Mengenai kualitas lirik? Walawualamm..... Sekali lagi, it's all about perception!!

Coba sekarang perhatikan lirik2 lagu punk yg nihilism, Grunger yang "angst" atau Mod revival yang narcissism; semuanya bahkan banyak yang lebih kacau(bukan sekedar cengeng tapi men"ngeri"kan). Namun pengamat sana tidak melihat dari sisi negative-nya dan tidak memberikan judgment yang bersifat sarat nilai subjektivitas. Justru mereka mengobservasinya dengan seobjektif mungkin, bahwa genre "punk" pun mencoba merepresentasikan secara sederhana (atau memodelkan) fenomena sosial jamannya.

Barangkali akan lebih menarik bila Mas Ukon memberikan komentar non bias dan bebas citarasa dengan memberikan penekanan pada aspek musikalitas (contohnya chord progression). Dr segi chord progression, karya Dhani dalam lagu Munajat Cinta saya rasa sama dengan lagu "Let It Be Me". Namun bila dikaji lagi "root"-nya saya rasa ini berasal dari chord progression Canon-nya Johann Pachelbel. Sesungguhnya, sengaja atau tidak, banyak musisi kita yg terinspirasi dr Canon/Pachelbell. Coba mas Ukon perhatikan/observasi deh. Contohnya lagu terkenalnya Niji (Biarlah), Samson (Kenangan Yag Terindah), D’Cinnamon- (Selamanya Cinta), banyak bagian dalam lagu tsb yang juga Pachelbelism.

OK, saya sudah kepanjangan. Inti-nya sebagai pengamat musik, sebaiknya jangan terlalu mudah terjebak dengan memberi komentar yang bersifat bias dan sarat persepsi. Komentar demikian tak ubahnya seperti komentar seorang Harmoko (tentang lagu cengeng) atau Habibi (tentang ketidaksukaannya dengan nge-Rap). Mereka yang notabene tidak paham musik secara mendalam tentu wajar bila berkomentar demikian, karena mereka bukan pengamat, tapi kalangan awam. Namun komentar seorang yang "the so called" pengamat musik tentunya tidaklah demikian, karena yang demikian itu tak lain merupakan bentuk "censorship" terselubung yang banyak dicoba dibangun oleh kalangan-kalangan tertentu pada waktu sebelumnya.

Finally, just listen to the music/song. If you like it, stay tune and continue listening it. If you don't like it, just go!!!!

Makasih banyak Mas/Mbak atas tanggapannya yg begitu memperkaya. Saya tidak pernah mengkalim memiliki pemahaman sempurna atas musik, lirik, dll. Tulisan ini merupakan wujud keprihatinan saya atas potret musik pop kita yang menurut saya semakin menjadi budak industi, banal & bebal. Apakah Anda punya pendapat sama? Itu bukan hak dari tulisan ini untuk mengupayakannya.

Soal karya Ahmad Dhani, saya sendiri merupakan salah satu penikmat dari sebagian karya-karyanya. Tapi jika diamati trendnya, sepertinya Pak Ahmad ini sudah mulai menjadi "mesin" dari konstruksi yang dia bikin sendiri. Salah satu wujudnya dengan lahirnya lagu "Rinto" ala Dhani "Munajat Cinta" serta lagu-lagu daur ulangnya (yg dia nyanyikan sendiri, Mulan, Dewi2 dll) yg menggambarkan: seperti supir angkot yang mulai kehilangan trik tapi justru makin ngebet ngejar setoran.

Senang sekali jika diskusi kita terus dilanjutkan. Salam

Saya pun menghargai mas Ukon yang memiliki kecurigaan bahwa musik pop kita seolah-olah sudah menjadi "budak" dari sektor industri (i.e. industri musik). Sebenarnya, dalam mengungkapkan ekspresi keprihatinan ini pun mas Ukon masih (kalau tidak bisa dikatakan "terlalu") berlebihan. Saya dapat memahami bhw banyak pengamat kita (di bidang apa pun) yang memberikan pengamatan yg lebih berbasis pada persepsi, bukan pada fakta dan analisis.

Fenomena bahwa sistem konsumsi dikendalikan sistem produksi sebenarnya analisa lama yg telah disampaikan oleh aliran Frankfurt (Frankfurt school) yg dimotori oleh Horkheimer dan Adorno. Akar pemikiran dan keprihatinan mereka sebenarnya mudah dikenali, yakni neo-Marxis dan Critical theory. Neo-Marxis sebenarnya sarat dengan asumsi ideologis yg sudah barag tentu anti dengan kapitalisme dan segala representasinya: misalnya "industri", "modernisasi berlebihan" dan berbagai terminologi lain sejenisnya. Pada satu sisi tertentu, saya sangat menghormati semangat dan kritik humanis yg disampaikan neo-Marxis. Namun kita pun perlu mempertanyakan, sebenarnya siapa yg memperbudak siapa. Ini bukan sekedar industri memperbudak pihak tertentu, tetapi lebih jauh dari itu, kita perlu bertanya, siapa sebenarnya yg telah memberikan kesempatan pd the so called industriutk "memperbudak" atau melakukan perbudakan sistematis.

Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah apakah gejala "perbudakan" yg disinyalir oleh mas Ukon itu ada; atau cuma sekedar fenomena "tautologis". Atau, dalam konteks Dhani, jangan-jangan yg sebenarnya justru Dhani dan industri musik yg diperbudak oleh "selera" masyarakat. Atau, mungkin kita bisa melihatnya dr persepektif lain lagi; yakni karena Dhani (including seniman lain sejenis Dhani) dan industri musik lah yg mampu membaca peluang: bahwa masyarakat kita memiliki kecintaan pada "trend" musik "cengen" dan "kurang berkualitas" yg dikritik sdr Ukon. Karena mereka mampu membaca peluang makanya mereka meng-isi-nya dngan lagu-lagu tersebut.

Bila pihak pendukung Dhani melihat fenomena tsb sebagai "kemampuan lebih" untuk membaca peluang dan mengisi peluang pasar, maka mas Ukon dan kritikus lainnya yg sepaham melihat hal ini sbg sebuah fenomena perbudakan.

Sebenarnya fenomena dan trend "daur ulang" adalah hal biasa dalam dunia musik. Topik/tema ttg kreatifitas (i.e. creativity) sebenarnya adalah suatu perdebatan yg luas dan susah-susah gampang. Tidak ada batasan yg jelas antara kreatifitas, rekreatifitas, daur-ulang dan sejenisnya. Di negara-negara maju, yang sejarah dan dinamika musik-nya jauh lebih dahulu dan berkembang dibandingkan kita, tidak pernah melihat fenomena daur ulang sebagai suatu gejala yg tidak kreatif atau ngejar setoran (i.e. istilah mas Ukon) atau gejala negatif lainnya. Mereka melihatnya sebagai suatu hal yang sangat positif. Bahkan dalam konsep Knowledge Management (mudah-mudahan mas Ukon juga akrab dgn istilah ini), recycle adalah bagian dr continuous improvement. Memang kemajuan yg diperoleh dr aktifitas daur ulang adalah "incremental" (sedikit demi sedikit), tetapi setidak-tidaknya dari sisi dokumentasi permusikan kita, aktifitas seperti ini telah "memperkaya" kazanah musik kita dan memperkaya pilihan pendengar.

Untuk lebih jelasnya, coba deh perhatikan satu contoh lagu berikut: Can't help falling in love with you... Ada banyak versi dr lagu ini yang dinyanyikan oleh banyak penyanyi. Masyarakat di ngara-negara tsb tidak meilihatnya sebagai fenomena kehilangan kreatifitas, tetapi justru sebagai hal ysng SANGAT POSITIF karena telah memberikan pilihan yang lebih beragam pada masyarakat pencinta musik. Oleh karena itu, saya yg dari dahulu kurang suka (bahkan tidak pernah suka) dengan lagu-lagu Dewa, tetapi ketika mendengar lagu-lagu tersebut dinyanyikan oleh Dewi-Dewi, saya menjadi menyukainya. Bila demikian halnya, di mana letak kesalahannya.

Kesimpulannya, tidak ada yg salah dengan Rinto; tidak ada yang salah pula dengan Dhani, tidak ada yang salah pula dengan seniman musik kita lainnya bila mereka melakukan "daur ulang", menciptakan "mesin" atau "konstruksi" tertentu untuk mengembangkan "support system" utk mendukung karyanya. Sepanjang hal tersebut memberikan "pilihan" yg lebih beragam pada masyarakat pencinta musik, dan sepanjang tidak ada paksaan untuk harus menyukainya, saya pikir hal tsb sah-sah saja.

Saran saya yang terakhir. KITA TIDAK PERLU KUATIR DENGAN KEMAMPUAN MASYARAKAT KITA UNTUK MENYARING APA YG COCOK DAN BAIK UNTUK MEREKA. OUR PEOPLE ARE SMART ENOUGH, AND THEY KNOW WELL THEIR TASTE...

Salam
JMS

Ok Mas JMS, menarik sekali analisis Anda. Saya sangat bahagia jika kondisi musik Indonesia saat ini memang baik2 saja & sudah seharusnya seperti itu adanya.

Sebuah kebahagiaan pula jika penikmat musik kita, seniman, serta para pelaku industrinya semakin cerdas. Cerdas yang disertai kesadaran bahwa berkesenian tidak sekedar mencari oplah. Cerdas yang diiringi keyakinan bahwa lagu juga ibarat makanan, yang tidak cuma mesti enak ditelan, tetapi juga harus menyehatkan.

Saya sendiri saat mencoba menikmati karya musik populer kita masih saja merasa mules (untuk menggantikan kata muntah jika dipandang berlebihan). Darinya, saya belum merasakan keberagaman dan mampu merayakan Indonesia dengan segala problematikanya, akibat hegemoni musikalisasi kisah-kisah infotainment yang gemar berbangga atas senandung perselingkuhan, elegi patah hati, ode pengusir rindu, atau drama haru biru lainnya.

Mas JMS saya kira salah besar jika mengatakan bahwa kualitas lirik atau musik hanya sebatas persepsi. Di era mana pun selalu ada karya picisan, ada karya stensilan, dan ada karya bermutu, termasuk untuk musik dan lirik. Jika kualitas musik dan lirik hanya sebatas persepsi, wow mana tahann? Tak perlulah seniman membuat karya-karya bermutu jika semuanya sebatas persepsi.

Permasalahnnya, apakah meruyaknya karya-karya stensilan atau picisan adalah sebuah masalah atau bukan, ini barangkali baru sebuah persepsi. Mas dan saya bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.

Lepas dari itu semua, saya sendiri percaya di setiap zaman selalu ada para pemberontak yang lebih mementingkan hati daripada sibuk memikirkan untuk pintar membaca peluang atau menganalisis pasar. Karena konsekuensi menjadi seniman, tentu bukan sekedar jadi tukang dagang.

Mas Ukon yang baik, polemic ini memang kelihatannya seperti critical, terutama ketika mas Ukon mencoba memberikan penilaian tentang sesuatu yg bisa disebut “indah”, “berkualitas” atau “bernilai seni”. Sayangnya mas Ukon terlalu diperkosa dan diperbudak oleh sesuatu yg bersifat “sarat nilai”. Saya rasa mas Ukon pun sadar bahwa “nilai” yg dipakai dalam system sosial untuk mengatakan sesuatu itu “indah” atau “bernilai seni” atau mungkin baik ataupun buruk, semua itu sebenarnya adalah proyeksi atau pencerminan dari suatu kemapanan yg sesungguhnya relative. Ketika si Pemberontak menawaran suatu pilihan nilai lain yg tidak disukai oleh si “mapan” (tentunya si mapan sedang mendominasi system nilai yg berlaku), maka normalnya si mapan akan mengeluarkan jurus kartu lama, yaitu pengahkiman bahwa karya si pemberontak “menyesatkan”, “berbahaya” bagi umat; atau dalam kasus ini dinilai berkualitas “stensilan” dan lain sebagainya. Praktik-praktik ini sebenarnya historically terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan. Itulah sebabnya Socrates terpaksa harus minum racun Conium Hemlock yg mematikan, Siti Jenar terpaksa harus dibunuh, atau dalam skala yg kecil adalah gejala penghaiman sepihak terhadap karya the so called “roman picisan” dalam sejarah satera moderen Indonesia. Walau Motinggo Busye sempat dituding masuk kateogori “picisan” dan “stensilan”, toh nyatanya jarang ada sastrawan (atau katakana saja novelis kita) yang seproduktif dia. Lagipula sekarang banyak yang mengakui karya-karyanya sebagai sesuatu yg bernilai “seni” dan bukan sekedar stensilan/picisan (PS: saya sendiri sampai dengan saat ini tidak paham dengan definisi konseptual dari karya picisan atau setensilan). Barangkali, dalam kasus Motinggo Busye, sudah semakin banyak pemberontak yg berkeliaran dan membelanya, sehingga si “mapan” tidak terlalu memaksakan lagi system nilainya dalam menentukan sesuatu yang “indah” atau “berkualitas” terhadap karya-kara om Busye.

Soal fenomena senandung perselingkuhan, elegi patah hati, ode pengusir rindu, atau drama haru biru lainnya, saya kuatir ada “traumatic” tertentu yg dialami mas Ukon sehingga kelihatan sangat alergi terhadap hal-hal tsb, yg notabenenya sesungguhnya justru “manusiawi” dan dialami oleh banyak manusia di mana-mana dan sepanjang abad. Saya sudah jelaskan bahwa pada prinsipnya seniman adalah sama saja dengan peniliti sosial. Mereka mencoba memotret realitas sosial sekitarnya dan kemudian mengintisarikannya dalam karyanya. Kalau pelukis, ya mensarikannya dalam lukisannya (mungkin saja dia melukis org telanjang; tapi sesederhana itukah mas Ukon akan mengatakan bhw lukisan sang pelukis tsb adalah pornografi: but it’s your right to say that, and I should respect you if you stand for that opinion/valuation, although I dissagree with you); kalau pengarang lagu, ya tentunya mensarikan realitas tsb dalam karya lyricnya (dalam hal ini mungkin sj dia bercerita tentang perselingkuhan, senandung rindu, ode patah hati, bahkan soal dukun palsu, korupsi, pemrkosaan, dlsb). Sekali lagi saya ingin menjelaskan kembali kepada mas Ukon: Seniman itu mempunyai hak untuk memotret realitas sosial di sekitarnya dan mensarikannya dalam karyanya. Nothing wrong with that!!


Kesimpulan:
Dalam system sosial “axiology” adalah hal yg lumrah. Oleh karena itu, saya dapat memahami kegelisahan mas Ukon ketika diperhadapkan dengan dinamika musik di tanah air. Perubahan cepat ini yg sering membuat kita menjadi kaget atau sedikit vertigo (i.e. yg saya maksud Vertigo adalah bukan album U2 yg terakhir). Tidak usah bingung; tidak perlu kaget, apalagi sampai mual dan ingin “muntah”.

Pertayaan:
Kalau mas Ukon sungguh-sungguh bertahan dan berpegang dengan gaya “axiology” dalam menilai ke“indah”an atau “kualitas” suatu, saya akan salut 100%, dan barangkali pada tahap pertama saya akan mengajukan/mengirimkan daftar 100 lagu Indonesia untuk minta mas Ukon menilai dan mengkategorikannya ke dalam lagu yg berkualitas/indah dan lagu yg stensilan/picisan atau tidak berkelas. Wow…fantastic sekali… Kita kembali saja ke jaman fasis.

Postscript: Seniman, guru, politisi, pedagang, dlsb. Semuanya pada dasarnya hanyalah orang-orang yg menjalankan fungsi sosialnya berdasarkan self interestnya. Dalam kacamata moderen, komersialisasi adalah fenomena yg wajar sepanjang tidak ada unsur paksaan dan kebebasan untuk memilih diutamakan. Janganlah kita membangun "cencorship" terselubung dengan menggunakan gada "atas nama" keindahan dan kualitas; padahal semuanya cuma persepsi yg dibungkus dengan kekuasaan. Apakah pilihan kita seni untuk seni, seperti Armin Pane; atau seni untuk masyarakat versi Sutan Takdir; atau mungkin pilihan yg lain (misalnya tidak memilih), semuanya terserah pada diri kita sendiri dan tentunya masyarakat pencipta musik di tanah air dengan seleranya masing-masing. Sekali lagi, just listen to the music. f like it, stay tune; if you don't like it, you can go!

JMS

Mas JMS, makasih atas diskusinya. Tapi nampaknya analisis Mas JMS sudah panjang x lebar sampai-sampai harus membahas teori relativitas, Siti Jenar, dll.

Sesungguhnya yang ingin saya sampaikan dalam tulisan saya sederhana saja:

1. Saya tidak anti pada lagu-lagu cinta. Yang bener aja, masa anti pada cinta. Yang saya kritisi, bagaimana musisi2 pop kita mengejawantahkan tema2 cinta dalam karya-karya mereka. Gitu-gitu aja kan, klise, serba seragam. Begitu banyak pendatang baru, tapi lagunya gitu-gitu melulu. Begitu pula dengan penggunaan katanya yang nggak jelas, tidak cerdas. Sering hanya untuk mengejar irama a-i-a-i pada akhir kalimat, makna kalimat menjadi rancu, dll... Beberapa musisi sebenarnya mencoba melakukan terobosan, seperti Letto, Sherina, atau dulu ada KLa, dll. Mereka juga banyak mengupas cinta, tetapi meraka punya karakter & lebih cerdas.

2. Saya sangat setuju dengan pendapat Mas JMS bahwa seniman itu mempunyai hak untuk memotret realitas sosial di sekitarnya. Nah realitas di sekeliling kita itu bukan cuma cinta-cintaan kan? Begitu banyak realitas lain yang menunggu untuk dituangkan ke dalam karya seni, termasuk musik. Ini yang sangat jarang disentuh lagu populer kita sekarang ini. Coba kita bandingkan di era dulu zamannya LCLR, God Bless, Swami, dll. Itu lah yg menyebabkan lagu pop kita lagi-lagi jadi seragam, termasuk dari sisi musinya, tidak merepresentasikan Indonesia yg raya dan bhinneka...

Mengapa musisi kita bikin lagu yg gitu2 aja. Alasannya boleh jadi alasan gampangan dari para pemalas: itulah realitas kita, itulah yg sedang disukai pasar. Atau menurut bahasa Mas JMS, itulah hasil analisis pasar...

Itu jg yg kini sedang terjadi pada industri film kita saat begitu doyan film horor. Bikin film horor ga ada salahnya, tapi kalau yg dibikin horor mulu dengan alasan selera pasar? Mana tahan.. Sutradara macam Dedy Mizwar, Hanung, dkk tidak takluk pada pendapat itu & terbukti dengan karya yg berbeda mereka tetap berhasil.

Mengapa soal keberagaman & kecerdasan dalam berkarya ini perlu kita ingatkan? Biar industri musik & film kita kaya warna, kaya piliham, punya fondasi industri yg kokoh, sehingga tetap eksis & terus berkembang. Sekalian seperti kata Mas JMS, ikut merepresentasikan realitas sosial yg ada di sekeliling kita.

Nah gitu aja Mas, sederhana aja kan. Ini ga ada hubungannya dgn Siti Jenar.

hebat mas ukon!!!

sepertinya mas JMS emang udah melebar..

lagu cinta emang baik, tapi kalau kebanyakan juga mabok..boleh lagu cinta tapi coba dieksplore dari segi aransemen musiknya.

tapi, saya juga ga suka dewa ataupun Dhani..terlalu Queen menurut saya, sedangkan saya pencinta Queen.

Jadi inget baca tulisan temenku di sini.
kuulang komentarku disitu:
"Musik memang selara. Tapi juga merupakan salah satu identitas budaya. Apakah budaya cengeng yang kita bawa, atau budaya yang penuh semangat yang kita emban, semua sesuai selera kita dan pilihan kita."

Memang menarik perkembangan masa kini dimana idealisme di semua lini menjadi pudar. Yang bikin aku khawatir bukan siklus, tapi titik balik ketika ini tak akan kembali. Atau inilah sebenarnya bangsa kita.

Musik merupakan salah satu yg paling mudah diamati karena hampir setiap waktu kita disuguhi sajian nyata tentang dunia showbiz berupa musik.

Tapi mengingat masih ada yg peduli, kita masih bisa berharap semuanya kembali sesuai idealismenya.

Yang penting adalah bagaimana mengganti "trend" dengan "kepribadian".

Dah kangen nih ma "garang"-nya bangsa kita di era 1900-an sampai 1960-an.

gne aj mas sya hanya ingin komen tenteng kwalitas nusik indonesia gak lebih dari itu .bawasana saya melihat musik indonesia atau band indonesia yg baru hanya mengikut band2 yg sudah terkenal saja.apakah bermusik sekarang itu semua komersial gak melihat dari segi layak atau tidak na. atau gak melihat musikalitas ap cuma ikut2 tan pengen terkenal saja.industri musik memang kadang gak pernah peduli tentang itu.musik bukan bisnis namun pandangan tersebut tlah terkabur saat ini masyarakar tlah di bekali otak 2 musik yg tak bertanggung jawab.tapi saya salut dengan manusia pejuang musik yg bener solid ngedepanin musikalitas indonesia dan punya ciri kas sendiri dalam bermusik.musik itu ritme hidup bayang kan anda setiap hari didengarkan tong yg dipukul2 tanpa henti dan gak beritme ap perasaan anda yg timbul? pastilah rasa gak nyaman .itulah karna musik bisa buat kita senang jga dapat membuat kita galau resah mungkin tanpa dijelaskan saja pastilah anda sudah mengetahuina.dengan itu kembalikan musik dengan cita rasa dapat mebangkitkan kwalitas musik indonesia.ok segitu aj ..moga dapat bermanfaat...

sorry mas lalu gimana pendapatnya tentang kangen band.....

Kalau musiknya mengandung distorsi nada yang memukau dan mampu menciptakan suasana plus...tidak mudah ditebak, saya mau mendengarnya walaupun liriknya cengeng...

maju terus musik Indonesia....!

Post a Comment

Seputar Ukonisme

Komentar Terbaru

Arsip Bulanan

Sejak Februari 2007

Web Site Hit Counters

netter sedang online