Sumpah-Serapah
Ketika kita tengah mengendarai kendaraan di jalanan, dan kita kemudian diganggu oleh ulah pengendara lain yang kita anggap ugal-ugalan atau tidak disiplin, mungkin dengan refleksnya mulut kita meluncurkan sumpah serapah. Sekelompok penghuni kebun binatang hingga macam-macam julukan makhluk halus dengan lancar kita sebutkan. Sementara ketika kita melakukan hal serupa, ugal-ugalan dan tidak disiplin pula, kita dengan tenang melenggang tanpa rasa bersalah. Umpatan serupa kita sematkan di dalam hati ketika Pak Polisi menilang dan memberi peluang uang damai, kendati kejadian itu tak akan terjadi jika kita tidak melanggar dan melakukan aksi penyogokan.
Sumpah serapah kerap pula terluncur di banyak kejadian. Saat menonton pertandingan dan tim kita kalah, saat ada kecelakaan, ketika ada bencana, dan di banyak peristiwa lain. Seolah-olah kita adalah sang dewa pemilik segala pengetahuan dan kebenaran, sementara yang lain adalah para pelaku kriminal, binatang-binatang bodoh, dan entah apalagi. Atau bahkan kita ingin mengatakan, “Semua yang ada di negeri ngga bener, kecuali saya!”
Kita gampang menyimpulkan tanpa ada bukti yang diyakini keabsahannya. Kita gampang mengobral komentar tanpa mengerti duduk persoalan yang sebenarnya. Kita berkawan dengan kata-kata kasar, dan alfa berkontemplasi. Hebatnya, dengan itu malah kita serasa sudah menjadi pahlawan.
Segudang hal harus diperbaiki. Tetapi ketika semua dilemparkan ke pihak eksternal, tanpa kita mampu membaca ke dalam, sesungguhnya kita tengah mengalungi leher kita dengan tulisan “pecundang”. Lagi pula, persoalan sama sekali tidak membutuhkan sumpah serapah, tetapi jawaban. Bahkan sumpah serapah menjadi faktor pengali bagi persoalan itu sendiri.
Seperti cermin, saat sumpah serapah terlontarkan, sesungguhnya kita tengah memantulkan gambar tentang jati diri kita yang sebenarnya. Ah, semoga kita tidak menghadapi semua permasalahan yang hinggap dengan sumpah serapah, kendati mulut dan pikiran ini seringkali sangat susah diberikan pemahaman yang jernih.
Sumpah serapah kerap pula terluncur di banyak kejadian. Saat menonton pertandingan dan tim kita kalah, saat ada kecelakaan, ketika ada bencana, dan di banyak peristiwa lain. Seolah-olah kita adalah sang dewa pemilik segala pengetahuan dan kebenaran, sementara yang lain adalah para pelaku kriminal, binatang-binatang bodoh, dan entah apalagi. Atau bahkan kita ingin mengatakan, “Semua yang ada di negeri ngga bener, kecuali saya!”
Kita gampang menyimpulkan tanpa ada bukti yang diyakini keabsahannya. Kita gampang mengobral komentar tanpa mengerti duduk persoalan yang sebenarnya. Kita berkawan dengan kata-kata kasar, dan alfa berkontemplasi. Hebatnya, dengan itu malah kita serasa sudah menjadi pahlawan.
Segudang hal harus diperbaiki. Tetapi ketika semua dilemparkan ke pihak eksternal, tanpa kita mampu membaca ke dalam, sesungguhnya kita tengah mengalungi leher kita dengan tulisan “pecundang”. Lagi pula, persoalan sama sekali tidak membutuhkan sumpah serapah, tetapi jawaban. Bahkan sumpah serapah menjadi faktor pengali bagi persoalan itu sendiri.
Seperti cermin, saat sumpah serapah terlontarkan, sesungguhnya kita tengah memantulkan gambar tentang jati diri kita yang sebenarnya. Ah, semoga kita tidak menghadapi semua permasalahan yang hinggap dengan sumpah serapah, kendati mulut dan pikiran ini seringkali sangat susah diberikan pemahaman yang jernih.
Labels: Refleksi
| Baca Selengkapnya |
Kadangkala mulut dan hati ini tidak bisa berjalan seirama, hati berkata 'A' mulut meneruskan dengan 'B'. Mungkin karena kita kurang memahami makna hati nurani sendiri atau mulut yang enggan berkata apa adanya.
Komentar dari SB | 10/3/07
hmm.... jadi merinding baca ini! abis kalo lagi nyolot saya masih suka nyumpah segala macem gitu! maklum... suroboyo.. kalo ngga misuh ngga mantep. ehh... tapi tetep yah itu ngga bisa dijadikan pembenaran :(
Komentar dari Anonymous | 19/3/07